Mempelajari NLP, aku diperkenalkan dengan istilah modeling. Memodel. Meneladani. Lebih jauh, ternyata ini adalah cara belajar paling purba bagi manusia. Sebelum manusia mengenal komunikasi kompleks lewat bahasa, ia hanya memiliki inderanya, yang mencerap apa saja yang ada di sekelilingnya. Dan kala melihat manusia lain melakukan sesuatu, ia pun menirunya. Maka kita hampir tak pernah melihat manusia yang menguasai keterampilan-keterampilan hidup dasar seperti berbicara dan berjalan lewat kursus atau sekolah. Ya, manusia bisa bicara dan berjalan ‘hanya’ melalui proses bernama meniru, memodel, meneladani.
Sayangnya, kemampuan ini menurun seiring waktu, meski tak hilang sama sekali. Sebabnya adalah proses belajar yang jadi terstruktur dalam kurikulum bernama sekolah. Kita pun ‘dipaksa’ belajar lewat sumber sekunder bernama literatur. Kita tak belajar bahasa Inggris melalui interaksi langsung dengan native speaker, melainkan lewat buku, sehingga meskipun skor IELTS tinggi, tak mesti lancar berbicara sehari-hari. Padahal,anak-anak kecil di Inggris sana terampil berbicara tanpa kursus sama sekali.
Meskipun demikian, seperti ku utarakan tadi, kemampuan belajar lewat meneladani ini tak sepenuhnya hilang. Buktinya, kita punya karakter, kebiasaan, tingkah laku, yang lahir dari budaya tempat kita berada, meski tak pernah belajar formal. Orang Minang bisa berbahasa Minang, dan mewarisi tindak-tanduk orang Minang, meski tak pernah mengenyam kurikulum budaya Minang. Di level organisasi pun demikian. Orang yang pernah bekerja, misalnya, di Astra, tanpa sadar akan mewarisi kebiasaan bekerja dengan PDCA (Plan-Do-Check-Act) kala bekerja di tempat lain.
Ini berita bagus. Sebab artinya kita bisa membangkitkan kembali kemampuan belajar paling purba ini untuk menyerap kebiasaan-kebiasaan baik. Caranya? Kita cukup mencari subject matter expert untuk diteladani, lalu melakukan proses peneladanan kepadanya. NLP menyajikan beberapa metodologinya. Tapi pun tanpa itu, sebenarnya kemampuan meneladani itu tak pernah hilang, hanya perlu dibangkitkan kembali.
Sisi lain, ia juga berarti berita buruk. Bahwa kita pun bisa saja meneledani, memodel, kebiasaan-kebiasaan buruk dari orang di sekeliling kita. Bukankah mudah kita jumpai orang melanggar aturan lalu lintas dengan meneladani mereka yang lebih dulu melakukannya? Kala orang di depan masuk jalur bis, kita pun mengikuti. Bukankah mereka yang cerdas dan idealis saat jadi aktivis lama-kelamaan ikutan korup kala telah menjabat? Ini membuktikan kemampuan modeling itu tak pernah hilang. Ia ada, dan tanpa sadar terus kita gunakan. Ya, karena memang ia lah cara belajar kita yang paling dasar.
Karena itulah, konsekuensinya, kita memang perlu mencermati lingkungan tempat kita menghabiskan waktu. Bergaullah dengan penjual parfum, maka kita kan terbiasa dengan yang wangi dan karenanya tertular wanginya. Ambillah jarak sejenak, wahai diri, tuk meneliti siapa yang ada di sekelilingmu. Tandai apa dampak kebiasaan mereka kepadamu. Jika baik, lanjutkanlah hidup bersama mereka. Jika buruk, hindarilah mereka. Pun jika tak mudah menghindarinya, carilah tempat lain untuk belajar dan menjaga kewarasan. Seimbangkanlah efek buruk dengan efek baik yang jauh lebih banyak.
Lebih jauh lagi, jadilah teladan itu. Lakukan hal yang baik, lalu istiqamahlah. Mungkin kau tak sadar, tapi siapa tahu, Tuhan mengizinkan hidayah jatuh pada seseorang tersebab apa yang kau teladankan—meski tak kau ucapkan.