Modeling dan Proses Terapi dalam NLP

Sebagaimana ku bahas di artikel yang lalu, memodel adalah cara belajar paling purba, paling alamiah dari manusia. Ia bisa saja tak terasah, namun sebenarnya tak pernah hilang. Dan NLP, adalah metodologi yang berusaha untuk melatih kembali cara belajar itu. 

Maka ada yang unik dari proses terapi dengan NLP. Dalam pandangan NLP, sebuah permalasahan psikologis tak mesti dipandang sebagai buruk. Melainkan hanya sebuah pola yang kurang produktif, dihadapkan pada tujuan. Fobia, misalnya, ‘hanyalah’ sebuah pola yang kurang lebih prosesnya adalah mengaitkan sebuah penanda (misalnya, kecoa) dengan kondisi rasa takut yang intens (misalnya, pingsan). Karena biasanya terjadi akibat pengalaman yang sangat signifikan, maka ada kaidah dalam NLP yang mengatakan bahwa ‘manusia memiliki kemampuan untuk belajar dalam sekali kejadian’ (humans have the capacity to experience one-trial-learning). 

Bukankah ini sesuatu yang sebenarnya baik? Bayangkan jika kapasitas belajar lewat sekali pengalaman ini digunakan dalam konteks mendalami sebuah ilmu. Maka proses belajar ini sejatinya netral. Ia hanya perlu dievaluasi dalam kaitan dengan tujuan dan manfaatnya. Dalam kasus fobia kecoa, tentu tidak produktif. Namun dalam kasus ‘mendengar sebuah nasihat dan terus teringat’, tentu baik. 

Jadilah, dalam NLP, proses terapi dilakukan dengan cara mempelajari pola yang terbentuk dalam sebuah kondisi. Dengan kata lain, menyusun model dari sebuah kondisi, kemudian memodifikasi model tersebut agar lebih produktif. Dalam kasus fobia kecoa, melihat kecoa memicu pingsan kemudian perlu dimodifikasi menjadi melihat kecoa memicu rasa geli sedikit saja sehingga bisa mengambil pembasmi serangga dengan tenang dan menyemprotnya. (Tak perlu juga mengubahnya secara ekstrim menjadi menyayang kecoa seperti layaknya menyayangi kucing).

Itu cara kerja memodel yang pertama. 

Lebih jauh dari itu, konsekuensi dari memodel sebagai cara belajar alamiah manusia adalah bahwa sebenarnya klien/pasien itu akan memodel terlebih dahulu psikoterapis sebagai manusia. Saat melihat psikoterapis, klien sesungguhnya sedang mengalami perbandingan antara dirinya dengan diri sang psikoterapis di hadapannya. Ia melihat sesama manusia, namun dalam kondisi yang lebih prima. Ia jadi mampu menyadari kemungkinan untuk menjadi orang yang berbeda, yang lebih sehat. Kesadaran bahwa ‘sehat itu mungkin’ adalah titik pertama keinginan untuk berubah. Persis seperti diriku yang berperut buncit, dihadapkan pada seorang kawan yang dulu bernasib sama namun kini berperut rata dan sangat fit. Aku jadi melihat kemungkinan untuk menjadi diri yang seperti itu.

Maka amat penting memang untuk mempelajari NLP dan menerapkan pada diri terlebih dahulu, sebelum menolong orang lain, baik sebagai psikoterapis, coach, trainer, dll. Sebab orang perlu melihat dulu bagaimana ilmu ini bekerja dalam diri kita. Mereka perlu merasakan vibes-dari seorang yang menjadi lebih ekselen dengan mempraktekkannya. Tak harus jadi sempurna. Sebab kesempurnaan dalam artian tanpa cacat itu tak pernah ada. Namun setidaknya ilmu ini perlu terlebih dahulu melewati diri, sehingga ia tampak hidup dalam perilaku. 

Jadi, bagi siapapun yang berminat menjadikan NLP sebagai pendekatan terapi, coaching, training, pesanku adalah: nikmati dulu NLP untuk diri ini. Perbaiki hal-hal kecil, dan teruslah berjalan. Sebab menjadi people helper sejatinya adalah teman perjalanan tuk bertumbuh. Kita tak sedang mengajari orang lain. Kita sedang menemani orang belajar, dengan pada saat yang sama terus menjadi pembelajar. 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *