Salah satu penyebab korupsi, dalam hematku, adalah ketidakmampuan untuk memilah mana yang milik kita, dan mana yang bukan milik kita. Mana yang hak kita, mana yang bukan hak kita. Seseorang yang bekerja di bagian pengadaan, tentunya telah digaji sesuai dengan kontrak perjanjian awal. Naik turunnya jumlah pekerjaan, gajinya tetap belaka. Itu haknya. Kewajibannya? Tentu menjalankan tugas untuk melakukan pengadaan barang dan jasa sesuai kebutuhan dan ketentuan. Kala ia melakukan itu dengan baik, sehingga perusahaan mendapatkan barang dan jasa yang sesuai kebutuhan dan ketentuan, ia telah memenuhi kewajibannya, yang membuatnya terus layak mendapatkan haknya. Jika kerjanya tak beres, maka ia tak layak menerima haknya, sehingga mungkin mendapatkan teguran ringan, sedang, hingga berat yang berujung PHK. Jika ia ingin mendapatkan lebih dari hak yang ia dapatkan saat ini, maka tentu yang harus ia lakukan adalah memberikan lebih dari yang diminta. Misalnya, berhasil mengusulkan sistem kerja yang lebih efektif dan efisien, bahkan ketika itu tak diminta. Karena memberikan yang tak diminta, maka ia sejatinya memberikan lebih daripada yang ia terima. Di titik itulah, perusahaan mulai melihatnya layak mendapatkan promosi.
Logika ini sungguh sederhana sekali. Jika ditekuni, maka orang akan berhasil jua. Dan keberhasilannya itu kokoh belaka.
Menjadi repot ketika si karyawan ini mulai berniat mendapatkan lebih atas apa yang tak ia kerjakan. Misalnya, mendapatkan komisi dari vendor jika mengkondisikan pemilihan tender pada mereka. Komisi vendor itu jelas bukan haknya. Karena pun jika vendor bisa memberikan uang lebih, logika sederhananya, itu adalah hak dari perusahaan. Vendor harusnya bisa memberikan diskon lebih besar. Namun uang itu tak jadi keuntungan perusahaan, yang telah menggaji si karyawan pengadaan, melainkan masuk ke kantorng si karyawan sendiri. Jadilah ia mendapatkan apa yang bukan haknya. Haknya adalah gaji yang telah disepakati dari kontraknya. Di luar itu bukan miliknya, bukan haknya. Kesulitan membedakan hal inilah akar korupsi.
Dalam lingkup yang tampak lebih kecil, hal ini pun terjadi. Sebagai pengendara kendaraan bermotor kita berkewajiban membayar pajak. Dan atas pajak itu, kita berhak menerima hak penggunaan jalan. Karena luas jalan terbatas, tentunya dibagi-bagi. Yang menggunakan kendaraan pribadi ada jalurnya, yang menggunakan kendaraan umum pun demikian. Namun kiranya sebagian orang kesulitan membedakan mana jalan yang menjadi haknya. Karena jalanan tersendat, ia masuk ke jalur bis yang bukan haknya sebagai pengguna kendaraan pribadi. Ia telah mendapatkan haknya sebagai pembayar pajak kendaraan untuk menggunakan jalurnya, namun ia merasa layak untuk menggunakan yang bukan haknya.
Di level menteri pun demikian. Menteri bekerja tentu telah digaji, lengkap dengan tunjangan dan fasilitas. Itu haknya. Kewajibannya adalah menjalankan peran kementerian yang diamanahkan kepadanya. Tapi ada sebagian orang yang jadi menteri sosial, kemudian merasa berhak untuk menerima sekian persen dana bantuan sosial yang jadi kewajibannya untuk menyalurkan sesuai mekanisme. Seolah itu haknya, padahal bukan. Padahal antara dua hal itu jelas belaka. Gaji dan fasilitasnya itu haknya. Dana bansos itu bukan haknya. Apa sulitnya membedakan kedua hal ini?
Aku menulis ini bukan karena merasa suci. Namun justru ingin mengingatkan diri yang kerap kesulitan—atau menutup mata—akan kedua hal itu: hakku dan bukan hakku.Mari berlatih dari hal-hal yang teramat kecil. Mari peka pada yang kerap terlewat oleh mata. Sebab kita selalu hidup bersama yang lainnya. Udara yang kita hirup pun tak lepas dari penggunaan bersama. Ada ruang privat yang memang disediakan bagi kita. Tapi ia hanya kecil belaka. Selebihnya selalu adalah ruang yang kita manfaatkan bersama yang lain.
Bedakan, wahai diri, bedakan. Mana yang benar-benar milikmu, dan mana yang kau pinjam dari yang lainnya.