Pernah ku tulis bahwa persahabatan adalah hubungan unik. Ia jenis yang bisa berlaku dalam beberapa jenis hubungan lain. Persahabatan bisa terjadi antara pasangan suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik, dan tentunya dua orang atau lebih yang tak punya hubungan darah.
Mirip seperti pernikahan, persahabatan adalah hubungan yang dibangun atas dasar keputusan. Ia mengandaikan adanya kebebasan. Orang bisa memilih untuk bersahabat atau memutuskan persahabatan. Sebagaimana orang bisa mengatakan, “Dia mantan suami/istriku”, ia juga bisa berucap, “Dulu ia kawanku”. Bedanya dengan pernikahan, ia lebih rapuh, tak memiliki ikatan legal. Tak ada kewajiban hukum apapun dalam persahabatan. Jika pun ada kewajiban, ia adalah kewajiban moral. Jadilah, unsur kebebasan jauh lebih besar dalam persahabatan dibandingkan dengan pernikahan.
Maka ku katakan pada tulisanku dulu itu, bahwa persahabatan adalah sebuah kehormatan. Sebab orang yang mau bersahabat dengan kita, berarti memilih kita. Ia bertahan sebagai sahabat kita karena memilih demikian. Ia bisa saja pergi, namun tidak ia lakukan. Apakah kita punya kekurangan? Jelas. Tapi kenyataan bahwa ia masih menjadi sahabat kita, berarti ia memaklumi kekurangan itu, dan memilih fokus pada kelebihan kita.
Adalah Platon yang mengungkapkan bahwa persahabatan itu sebenarnya berbentuk segitiga. Dua orang yang bersahabat itu disatukan oleh unsur ketiga yang bersifat metafisik. Misalnya, orang bersahabat karena sama-sama menyukai kejujuran. Aku masih bersahabat dengannya, karena kami sama-sama menghargai kejujuran. Maka ketika salah satu dari kami sudah tidak jujur satu sama lain, persahabatan itu pun bubar. Semakin kuat dan berlapis unsur ketiga itu, semakin kokohlah persahabatan. Maka para sahabat yang telah mengenal sejak kecil, misalnya, cenderung terus bertahan sebagai sahabat karena memiliki lapisan unsur ketiga yang kokoh.
Ah, pantas saja persahabatan bisa memperkaya hubungan lain. Suami-istri terikat dengan hukum pernikahan. Keduanya bisa saja masih bersama meski tak lagi saling mencintai. Namun keduanya juga bisa memiliki hubungan yang mendalam layaknya sahabat ketika memiliki unsur ketiga penyatu, misalnya, visi keluarga, nilai-nilai hidup, hobi, dan lain sebagainya. Begitu pula hubungan orang tua-anak. Hubungan darah ini tak mungkin lepas. Tapi jika ingin kompak layaknya sahabat, maka carilah naungan unsur ketiga yang bisa menyatukan.
Nah, pertanyaannya: mengapa kita perlu bersahabat? Apa pentingnya memiliki sahabat?
Menurut hematku, kita butuh sahabat karena memang ada ruang dalam diri untuk persahabatan. Ruang itu adalah ruang kesetaraan. Karena persahabatan adalah pilihan, maka orang yang bersahabat sejatinya memilih satu sama lain. Tak ada istilah, “Aku terpaksa menjadi sahabatmu”. Dan, persahabatan berlangsung karena satu sama lain saling mengisi dengan tindakan. Saling mengisi artinya ada ruang untuk diisi. Ruang itu bisa memang tersedia, atau disediakan. Disediakan artinya, aku belum tahu apa manfaatmu bagiku, namun aku melihatmu orang yang berharga, maka ku sediakan ruang dalam diriku untuk kau isi. Begitupun aku menawarkan tindakanku untuk mengisi ruang yang kau sediakan dalam dirimu.
Tanpa persahabatan, maka kita tak bisa memanfaatkan ruang kesetaraan itu. Kita hanya akan selalu hidup dalam relasi kuasa atas-bawah. Dan tabiat dari relasi atas-bawah adalah pola hubungan menang-kalah atau kalah-menang. Sebab hubungan menang-menang hanya terjadi kala para pihak mempertahankan kesetaraan—persahabatan.
Menarik untuk dicermati bahwa orang-orang yang posisinya di bawah Nabi Muhammad saw adalah sahabat. Ya, sahabat. Bukan murid. Tentu saja mereka berguru pada Sang Nabi. Namun mereka tak disebut sebagai murid. Mereka adalah sahabat. Maka setinggi-tingginya seorang manusia adalah ketika ia menempati posisi bernama sahabat.