Beberapa tahun lalu, aku pernah memfasilitasi sebuah kelas pelatihan. Pengalaman yang tak terlupakan, karena kala itu aku harus menggunakan bahasa Inggris, dikarenakan sebagian peserta yang ekspatriat. Mudah diduga, kelas berjalan dengan tidak optimal, karena level kelucuan berkurang lebih dari 50%. Hehe.. Tapi bukan itu pengalaman yang paling berkesan. Pengalaman yang membuatku sungguh belajar amat banyak. […]
Tag: adab berguru
Jika tak ada kegaiban, kehidupan takkan berarti. Salah satu ciri insan nan bertakwa, insan nan diperuntukkan baginya petunjuk mulia bertajuk Al Qur’an, ialah keyakinan pada yang gaib. Sungguh aku kesulitan memahami hal ini. Mengapakah kiranya keyakinan pada yang tak tampak ini merupakan ciri ketakwaan. Sedang takwa itu sendiri didefinisikan sebagai sesungguh-sungguhnya menjalani hidup, dengan indikator
Simpulan yang sementara ini ku dapat saat membaca The Language Instinct garapan Stephen Pinker adalah: pikiran dibentuk oleh bahasa yang kita gunakan. Bahasa itu sendiri bentukan manusia. Pinker berargumen bahwa keahlian pembentukan itu instingtif. Ia ada sejak manusia dilahirkan sebagai bagian dari kebutuhan dasar hidupnya. Buktinya, anak tak pernah mengikuti kursus bahasa untuk dapat berbicara.
“Ini zaman serba cepat. Yang tak cepat kan tertinggal.” Demikian ungkap banyak orang masa kini. Dan aku pun sempat setuju. Maka dalam pikiranku, banyak hal mesti dipercepat. Atau setidaknya, berusaha dipercepat. Sebab yang lambat-lambat memang tak punya tempat. Namun beberapa hari lalu, ada sebuah kalimat yang membuatku tertegun. Berasal dari seorang pakar manajemen kenamaan, Tom
Ilmu memang milikNya. Namun kita sulit mendapatkan langsung dariNya. Dia minta kita mencari, dengan kesungguhan hati, sebab memang ia tersebar pula di sepanjang jalan, tak hanya di tujuan. Maka cara paling dasar belajar ilmu adalah melalui guru. Seorang yang telah paham dan mampu terlebih dahulu. Kita berutang pada guru. Sekali, dan selamanya. Karena takkan mungkin
Ada 3 jenis insan yang Dia jelaskan pada pembukaan kitabNya. Satu di antaranya selamat, dua di sisanya celaka. Yang selamat adalah ia yang telah diberikan nikmat. Mereka yang dikisahkan dalam berbagai tempat di sepanjang jalan. Dan nikmat itu jelas bukan nikmat dunia, meski sebagian di antaranya dikaruniai. Nikmat itu nikmat di akhirat sana. Yang celaka
Jarak terdekat antara dua titik adalah garis lurus. Wajarlah jika inilah dambaan insan yang sedang bepergian. Adanya jalan lurus selain memudahkan juga menghemat banyak sekali sumber daya. Tidak perlu banyak berpikir. Cukup lurus saja. Namun yang diidamkan memang tak selalu ada dalam kenyataan. Atau setidaknya, tak pernah benar-benar ada 100 persen. Jalan lurus seperti jalan
Mengapa perjalanan memerlukan ilmu? Sebab dalam perjalanan, selalu ada kemungkinan kita tak sampai pada tujuan. Apa pasal? Halangan. Tersasar. Kehabisan bekal. Berubah pikiran. Godaan dan berbagai gangguan lain. Inilah sebab kriteria insan terbaik itu mudah dan terang-benderang adanya. Namun tuk mencapainya diri ini diminta berjuang. Dari perjuangan kan tampak perbedaan, sesiapa yang layak mendapatkan ganjaran
Ilmu adalah wujud cintaNya. Dia jadikan insan pengelola muka bumi, padahal lemah belaka sejak lahirnya. Manusia beranjak mulia tersebab ilmu yang dimilikinya. Tengoklah sejarah Adam, manusia pertama, kala dipertanyakan penciptaanya, Allah tunjukkan kekuatan berupa kemampuan menyebutkan nama-nama. Lalu seketika tunduk sujudlah malaikat yang telah jauh mengabdi lebih lama. Ketika kita perhatian akan keselamatan seseorang, kita
“Jika bukan melalui guru, lalu dari mana kita kan mendapat kucuran ilmu?” Tak ada pilihan lain bagi pembelajar yang ingin mendulang banyak ilmu, selain mengembangkan terlebih dahulu kesabaran dalam menghadapi guru. Tidak hanya kesabaran dalam arti berusaha menerima dan mencerna ilmu yang diajarkan, melainkan juga kesabaran dalam menerima pribadi beliau apa adanya. Seorang guru hanyalah
Recent Comments