“Rumah kini tak mesti mendidik kita. Sebab tontonan masuk dan mendidik pikiran tanpa permisi.” Mengapa beberapa tahun belakangan kita ribut-ribut pendidikan karakter? Mungkin sebab di dalam hati kita sudah tak tahan dengan bobroknya karakter bangsa, yang tercermin tidak saja di tingkah laku para pemimpin di layar media, tapi juga serampangannya tingkah laku orang di jalanan. […]
Tag: pendidikan
Tadinya, aku ingin menggunakan kata ‘lebih’ di judul, jadi “Kita Perlu Lebih Serius Memilih Pemimpin”. Tapi kuurungkan niat itu, sebab kata ‘lebih’ mengindikasikan adanya peningkatan, sedang yang dilebihkan itu sejatinya sudah. Ya, kita memang menurutku belum serius memilih pemimpin. Jadi kata ‘lebih’ sepertinya berlebihan. Mengapa demikian? Cek saja. Berapa banyak orang yang berpartisipasi dalam pemilihan
Beberapa tahun lalu, aku pernah memfasilitasi sebuah kelas pelatihan. Pengalaman yang tak terlupakan, karena kala itu aku harus menggunakan bahasa Inggris, dikarenakan sebagian peserta yang ekspatriat. Mudah diduga, kelas berjalan dengan tidak optimal, karena level kelucuan berkurang lebih dari 50%. Hehe.. Tapi bukan itu pengalaman yang paling berkesan. Pengalaman yang membuatku sungguh belajar amat banyak.
Merenungi sejenak fenomena sekolah berlabel ‘internasional’. Menggunakan kurikulum dari luar negeri, setiap hari berbahasa inggris. Pada saat yang sama, kala bertemu dengan beberapa siswa SMA sekolah serupa ini, mereka bertanya dimana itu kota Kudus? Saat aku memberikan sebuah kuesioner untuk diisi, seorang siswa bertanya, “Kak, apa artinya ‘merangkai’?” Aku tertegun. Tak kuragukan kefasihan mereka berbahasa
“Renungkanlah sejenak, kala jiwa ini telah kembali. Adakah akan kau tinggalkan penerus yang kuat pengokoh kehidupan?” Dalam berkeluarga memang ada kesenangan. Dan pada setiap kesenangan, sungguh kan ada pertanggung jawaban. Banyak insan berharap anak, namun sadarkah bahwa kelak anak-anak itu kan jadi saksi setiap perbuatan diri? Bahwa amalan mereka—buruk dan baik—kan menyeret kita dalam kebinasaan
Sebuah obrolan bersama seorang sahabat terjadi, ketika ia bertanya, “Mas, bagaimana ya saya memotivasi anak-anak saya belajar. Mereka baru kelas 3 dan kelas 4 SD, tapi kok rasanya sudah tampak kejenuhan belajar. Padahal tugas dan tuntutan sekolah begitu tinggi.” Saya pun berkaca demi mendengar pertanyaannya. Sebuah refleksi yang seketika
Satu kali saya pernah berbincang dengan seorang kawan tentang kisah-kisah masa sekolah kami. Beberapa menit berjalan, sampailah kami pada tema, “Anak zaman sekarang mah enak. Segala macam ada, sumber pengetahuan juga banyak, tinggal browsing. Teknologi canggih.” Saya pun sempat mengamini opininya, sembari menimpali, “Iya ya. Dulu, guru kita satu-satunya sumber ilmu. Sekarang, murid bisa jauh
Recent Comments