Frame We Live By

Jika tiba-tiba saya menceritakan kepada Anda bahwa kemarin saya melihat seorang pria menusuk pria lain dengan sebuah pisau, apa yang muncul dalam pikiran Anda?

Akankah Anda menanyakan kejadian detilnya kepada saya untuk kemudian segera menghubungi kantor polisi? Atau, Anda malah tertawa karena merasa melihat kejadian yang sama kemarin?

Yang pertama amat mungkin Anda lakukan jika saya menceritakan kejadian yang saya lihat di pinggir jalan. Sementara yang kedua bisa jadi juga Anda lakukan jika saya menceritakan kejadian yang saya lihat dalam sebuah film drama komedi yang juga Anda tonton kemarin.

Pertanyaan: mengapa sebuah kalimat yang sama bisa memiliki makna yang berbeda?

Yak, tepat! Kata-kata baru akan memiliki makna, jika dan hanya jika ia diletakkan dalam konteks tertentu. Sebuah belaian bisa berarti kasih sayang jika kita mendapatkannya dari seorang yang kita sayangi seperti keluarga ataupun kekasih, namun ia bisa pula berarti kengerian jika yang memberikannya adalah seseorang yang tidak kita kenal di pinggir jalan nan gelap gulita.

Konteks inilah yang di dalam NLP seringkali disebut dengan frame alias kerangka berpikir. Bayangkan sebuah foto atau lukisan besar bernuansa klasik tergantung di dinding dengan bingkai berbahan stainless nan mengkilap. Masihkah nuansa klasik aslinya muncul? Tidak, bukan? Meminjam kalimat dari Joseph O’ Connor, frame yang kita kenakan akan mengendalikan pertanyaan yang kita ajukan terhadap suatu hal, bagaimana kita akan merasakan hal tersebut, bagaimana kita akan bereaksi terhadapnya, dan bagaimana kita akan mengatasinya. Sebaliknya, kita bisa menciptakan dan mengubah frame hanya dengan mengajukan sebuah pertanyaan ataupun memunculkan reaksi tertentu.

Yang terakhir inilah yang membuat saya jatuh cinta terhadap NLP. Hanya karena makna ditentukan oleh frame, dan kita banyak memiliki frame yang ditentukan oleh lingkungan, bukan berarti hidup kita dikendalikan olehnya. Bahkan, kita dapat mengeset frame terlebih dahulu sebelum muncul makna apapun.

Perhatikan kedua kalimat di bawah ini:

Sebagai orang tua, bagaimana Anda akan menanggapi masalah kenakalan remaja seperti ini?

Mencermati masalah kenakalan remaja seperti ini, bagaiamana Anda bisa membantunya sebagai seorang sahabat?

Anda bisa merasakan efek perbedaan perasaan yang muncul demi mendengar kedua kalimat di atas?

Contoh lain adalah dalam dunia sales:

Apakah memang Anda ingin mengorbankan keamanan dengan hanya membeli barang yang berharga murah?

Itu baru satu dua kalimat. Bagaimana dengan budaya?

Alon-alon waton kelakon

Adat basandi Syara, Syara’ basandi Kitabullah

Yak, budaya adalah frame yang terintegrasi. Kalimat-kalimat yang dijadikan pedoman hidup, ritual-ritual yang dijadikan kebiasaan, simbol-simbol, cara berpakaian, dll kesemuanya adalah frame yang menandakan suatu budaya tertentu dan membedakannya dari budaya yang lain. Apa yang akan Anda pikirkan jika melihat seseorang berjalan di pinggir jalan raya hanya dengan mengenakan penutup kemaluan? Orang gila, bukan? Ya, jika Anda melihatnya di jalanan kota seperti Jakarta. Tidak, jika Anda melihatnya di pedesaan Irian Jaya.

Bagaiamana pula dengan agama?

Aha, ini adalah frame yang amat luar biasa. Tidak saja ia mampu menjadi pedoman hidup bagi seseorang, ia bahkan mampu melintasi batas-batas wilayah dan budaya. Jika sebuah budaya bisa menjadi bahan pertengkaran antara beberapa suku, maka agama bisa menjadi titik peperangan antara beberapa bangsa. Sebaliknya, agama pun bisa menyatukan begitu banyak orang tidak peduli dari mana asalnya, warna kulitnya, ataupun bahasa yang ia gunakan.

Kita bersatu atau bertengkar karena makna. Kita sedih atau gembira karena makna. Kita susah atau senang karena makna. Kita sukses atau gagal karena makna. Kita menang atau kalah karena makna.

Kita adalah makhluk makna. Dan karena makna ditentukan oleh frame, maka kita pun adalah makhluk dengan frame.

OK, cukup bahasan filosofisnya. Lebih praktis sekarang.

Setidaknya ada 7 frame utama yang sering digunakan dalam NLP. (Diadaptasi dari NLP Workbook, Joseph O’ Connor)

Ecology Frame

Ini adalah frame yang selalu mengajak kita untuk melihat dalam jangka panjang. Dengannya kita diarahkan untuk mengevaluasi setiap kejadian dalam konteks makna yang lebih luas. Kita melihat keluar dari berbagai batas-batas normal seperti ruang dan waktu. Kita menilai bagaimana sebuah pengalaman dapat cocok dengan sistem yang lebih luas seperti keluarga, sahabat, dan rekan kerja. Kita memikirkan konsekuensi yang lebih luas dan kesesuaiannya dengan nilai-nilai yang kita anut.

Menggunakan ecology frame, kita bisa bertanya:

Bagaimana jadinya hal ini dalam jangka panjang?

Siapa saja yang terkena efek dari keputusan saya?

Apa yang mungkin dipikirkan oleh orang lain?

Kebalikan dari ecology frame adalah me frame: Jika saya merasa hal ini baik, maka berarti hal ini memang baik.

Outcome Frame

Menggunakan frame ini, kita diajak untuk mengevaluasi suatu hal tentang kemungkinannya untuk semakin mendekatkan kita pada tujuan yang ingin kita capai.

Anda bisa bertanya:

Apakah persisnya yang sedang saya ingin capai sekarang?

Apakah sebenarnya yang saya inginkan?

Apakah yang berharga dari hal ini yang bisa saya dapatkan?

WARNING! Gunakan frame ini hanya setelah Anda menggunakan ecology frame! Jika tidak, Anda akan mengalami yang dinamakan sebagai King Midas Effect. King Midas berharap apapun yang ia capai dapat berubah menjadi emas. Lupa untuk menggunakan ecology frame, ia pun menyentuh makanan dan orang lain.

Lawan dari outcome frame adalah blame frame: Apa yang salah? Siapa yang harus disalahkan?

Backtrack Frame

Ini adalah keahlian kita untuk menyatakan ulang apa yang orang lain sampaikan dengan menggunakan kata-kata asli dari orang tersebut, bahkan hingga pada nada suara dan bahas tubuh mereka. Asumsinya, seseorang tidak melontarkan sebuah kata tanpa tujuan. Mereka pasti memiliki tujuan dan memilih kata yang paling tepat untuk menjelaskan apa yang mereka pikirkan.

Kita bisa bertanya:

Bisakah saya mengecek bahwa saya sudah memahami…?

Bisakah saya ambil kesimpulan sejauh ini bahwa…?

Jadi maksudmu adalah…?

Kebalikan dari frame ini adalah paraphrase frame. Jika Anda masih ingat pelajaran bahasa Indonesia dulu, parafrase adalah usaha kita untuk menceritakan kembali suatu pengalaman dengan bahasa kita sendiri.

Contrast Frame

Nah, ini adalah frame yang mendasari munculnya NLP, frame of difference. Tidak saja berbeda, tapi juga perbedaan yang membedakan alias the difference that makes a difference.

Jika Anda sudah mempelajari beragam teknik-teknik NLP, Anda barangkali bisa menyadari bahwa banyak teknik NLP menggunakan contrast frame sebagai dasarnya. Ambil sebuah situasi yang unresourceful dan cermati perbedaannya jika dibandingkan dengan situasi yang mirip namun lebih resourceful. Nah, perbedaan yang signifikan dari kedua situasi tersebut bisa kita gunakan untuk mengubah kondisi yang unresourful menjadi resourceful.

Kita bisa melakukannya dengan bertanya:

Bagaimana persisnya hal ini berbeda?

Apa persisnya yang membuat hal ini berbeda?

Mana variasi yang paling penting di antara berbagai hal ini?

Kebalikan dari frame ini adalah sameness frame.

”As If” Frame

Ini adalah frame yang amat berguna terutama dalam penyelesaian suatu masalah. Menggunakan frame ini, kita berpura-pura bahwa kita suatu hal itu benar adanya sehingga kita bisa mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang belum bisa kita lihat sebelumnya. Benar bahwa kita tahu kalau hal itu tidak nyata, namun kita tetap dapat mengambil pelajaran dan melakukan refleksi atasnya.

Kita bisa bertanya:

Bagaimana hal ini akan tampak sekiranya…?

Bisakah kamu menebak apa yang akan terjadi?

Bisakah kita berasumsi bahwa…?

Kebalikan dari frame ini adalah helpless frame: Jika saya tidak tahu, maka tidak ada yang bisa saya lakukan.

Systemic Frame

Menggunakan frame ini, kita menilai sesuatu berdasarkan hubungannya dengan hal lain. Kita berpikir dan fokus pada satu kejadian, melainkan bagaimana kejadian tersebut memiliki kaitan dengan berbagai kejadian lain. Ini adalah dasar dari pola pikir sistemik dalam dunia manajemen. Asumsinya, sebuah sistem itu selalu stabil dan resisten terhadap perubahan. Karenanya, menggunakan systemic frame, kita akan lebih fokus pada berbagai hal yang menghalangi perubahan dan berkonsentrasi untuk meminimalisasi halangan tersebut alih-alih langsung mengambil tindakan guna memunculkan perubahan yang diinginkan.

Kita bisa melakukan systemic frame dengan bertanya:

Bagaimana persisnya hal ini selaras dengan hal-hal lain sudah saya tahu?

Bagaimana hal ini terkait dengan sistem yang lebih luas?

Apa kaitan antara berbagai macam kejadian ini?

Apa persisnya yang menghentikan perubahan?

Bagaimana persisnya hal-hal yang saya lakukan menjadikan berbagai hal sebagaimana adanya sekarang?

Lawan dari systemic frame adalah laundy list frame: Buatlah daftar setiap factor yang relevan dan kita akan bisa menemukan solusinya.

Negotiation Frame

Mirip dengan As If, frame ini mengajak kita untuk berasumsi bahwa kita sedang berada dalam sebuah negosiasi dan setiap orang disana memilih untuk setuju. Ia juga berasumsi bahwa hal tersebut mungkin untuk dijalankan dan sumber daya yang dibutuhkan pun tersedia. Dengan demikian, kita diarahkan untuk melakukan chunk up guna mendapatkan titik temu dari beragam perbedaan sehingga kita dapat mencapai tujuan kita berikut tujuan orang lain pada saat yang sama.

Kita bisa bertanya:

Apa yang kita bisa sama-sama sepakati?

Kebalikan dari frame ini adalah war frame.

Memahami uraian di atas frame manakah yang sering Anda gunakan?

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *