Kebenaran dan Pemurnian

Ada yang menarik dalam pertemuanku kemarin dengan dua orang guru. Pertama adalah Pak Bagus Riyono, kedua adalah Bu Emi Zulaifah. Keduanya adalah suami istri yang sama-sama ahli dalam psikologi, pertama-tama Psikologi Industri-Organisasi, dan saat ini menggeluti Psikologi Islam. Dalam diskusi berbalut silaturahmi itu, terangkat satu topik tentang tazkiyah. Kata ini biasa dipahami oleh seorang muslim sebagai kegiatan untuk membersihkan jiwa, dalam paketnya yang disebut dengan tazkiyatun nafs. Namun dalam makna yang lebih luas, ia bisa pula dimaknai sebagai proses pembersihan atau pemurnian berbagai hal. Seorang yang sedang sakit perlu memurnikan dirinya sehingga pulih kembali. Seorang yang sedang belajar perlu memurnikan pemikirannya yang tanpa sadar terdistorsi—mungkin oleh pemikiran lama yang tak lagi relevan—hingga lebih jernih melihat kebenaran. 

Di titik yang terakhir ini aku teringat dua hal. Pertama, pemikiran Abraham Maslow dalam The Psychology of Science yang mengatakan perlunya kita mengkaji psikologi dari para ilmuwan. Bahwa jika kita meyakini manusia yang sehat dan paripurna—istilah beliau self actualized—adalah ia yang akan cenderung lebih jernih melihat kebenaran, maka kita seharusnya mendidik terlebih dahulu calon ilmuwan agar menyehatkan dirinya senantiasa. Sebab kebenaran itu—ini kesimpulanku—akan tampak pada dirinya sendiri. Ia ada di sana, berjarak dengan kita, namun untuk menghadirkan dirinya pada kita, kita subyek penahu ini selalu membutuhkan jembatan bernama kesadaran. Dan kesadaran inilah yang tak pernah murni, karena ia serupa lensa—atau meminjam Thomas Kuhn, paradigma—yang kerap tak jernih mengantarkan cahaya. Maka menjadi ilmuwan yang terobsesi pada kebenaran sejatinya adalah menjadi seseorang yang pertama-tama tekun menelisik dirinya sendiri, lapisan-lapisan pemikirannya, lapisan-lapisan hasratnya, lapisan-lapisan jiwanya, agar makin murni dan jernih melihat kebenaran. Dan jangan khawatir, kegiatan ini takkan pernah menemui titik akhir. Sebab yang disebut dengan distorsi dalam pemikiran, itu bukan saja terjadi sebab kita memiliki pemikiran yang sepenuhnya salah atau buruk karena niat yang disengaja. Jauh lebih sering distorsi terjadi akibat pemikiran lama yang sempit, yang kesempitannya itu tak tertahankan lagi dalam jangka panjang, atau pemikiran lama yang tak lagi menemui tempat relevansinya dalam kondisi kekinian. Jika di antara kita ada yang menguasai menggunakan aplikasi Word Star, bukankah ia tak lagi relevan di masa kini, meskipun sebagai pengetahuan ia tak buruk? 

Nah, dalam diskusi kemarin, proses ini ya tazkiyah juga. Jadi menjadi seorang ilmuwan berarti menjadi insan yang gemar bertazkiyah dalam konteks penelusuran keilmuwannya. Agar kemudian ia lebih kokoh dalam memberikan ‘fatwa’ keilmuan, atau dalam istilah lain judgment. Bukankah penilaian itulah produk dari sebuah keahlian? Penilaian yang terbaik bukanlah yang paling tepat sepanjang waktu, melainkan ia yang disusun secara jernih sehingga paling pas setidaknya dalam kondisi saat ini. Penilaian terbaik adalah ia yang lahir dari kejernihan dan kejujuran menelisik kebenaran. 

Yang kedua, aku teringat dengan apa yang dibahas oleh Stephen R. Covey dalam buku kenamaannya 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif itu. Jika ada satu ide sentral dari buku itu yang kini kerap dilewatkan para pembacanya adalah apa yang ia sebut sebagai prinsip. Prinsip, dalam telisikan Covey, adalah hal universal yang berlaku sepanjang zaman. Ialah satu dari 3 hal yang selalu konstan dalam kehidupan. Ya, kehidupan itu selalu mengandung perubahan, dalam perubahan kita selalu punya pilihan, dan pilihan terbaik adalah yang diselaraskan dengan prinsip-prinsip universal. Ada yang memandang bahwa ide tentang prinsip adalah usaha Covey untuk mengkampanyekan pentingnya manusia untuk selalu punya kesadaran relijius. Prinsip adalah cara Covey untuk membahasakan ajaran relijius yang terbukti membentang lintas zaman dalam bahasa yang lebih sekuler. 

Nah, maka praktik kebiasaan 2, Mulai dari Tujuan Akhir, misalnya, itu bukan sekedar hidup dengan memiliki tujuan. Sebab dalam bukunya—dan ini justru amat jarang disadari pembacanya—Covey mengajak kita untuk terlebih dahulu memeriksa apa yang ia sebut sebagai pusat diri (center). Pusat diri adalah tempat kita menggantungkan pemikiran. Meminjam teori Pak Bagus Riyono, ia adalah tempat kita menambatkan jangkar (anchor) kehidupan kita. Membandingkannya kembali dengan Kuhn, ia adalah paradigma yang kita gunakan untuk memahami kenyataan. Pusat diri ini bisa berbagai macam: keluarga, pekerjaan, uang. Permasalahannya adalah seberapa kokoh ia untuk dijadikan tambatan. Keluarga bisa pergi, pekerjaan dan uang bisa hilang. Maka untuk hidup efektif (berhasil dalam jangka panjang), yang kita butuhkan adalah menambatkan kehidupan kita pada sesuatu yang tak berubah, yang Covey sebut sebagai prinsip. Kembali pada contoh di bagian awal paragraf ini, tujuan akhir (misi hidup) yang efektif adalah ia yang terlebih dahulu diperiksa keselarasannya dengan prinsip-prinsip yang abadi. Untuk itu, jauh sebelum merumuskan (atau merumuskan ulang), kita dianjurkan untuk memeriksa dulu pusat diri yang akan dijadikan dasar perumusan misi itu. Adakah ia masih tertambat pada hal-hal yang sejatinya lemah? 

Ah, bukankah ini adalah tazkiyah pula? Sebelum menetapkan tujuan, lakukan dulu pemurnian terhadap cara kita menetapkan tujuan. Sebab tambatan itu bisa jadi terdistorsi. Ia perlu dijernihkan, dimurnikan, hingga lebih dekat kepada kebenaran (prinsip). Mengutip Covey (maaf aku tak ingat kalimat persisnya), “Jangan sampai kita terus memanjat sebuah tangga, hanya untuk mendapati ia bersandar pada dinding yang salah.” Sebab era ini, tema goal, purpose, mission adalah tema-tema populer. Pertanyaannya, adakah yang disebut sebagai goal itu, purpose itu, mission itu, adalah sesuatu yang telah diperiksa sandarannya? Perlukah seseorang memiliki life goal jalan-jalan keliling Eropa? Sebuah tujuan yang kerap membuatnya memaksa diri untuk menggunakan paylater. Adakah tujuan itu lahir dari proses pemurnian? Dari mana ia datang? Jangan-jangan semata lahir dari ketaksengajaan menyimak posting-an kawan—yang bahkan kita tak tahu kebenarannya? 

Sampai di sini ku simpulkan, bahwa jarak antara diri kita saat ini, dan diri kita yang lebih baik di kemudian hari, memang adalah ilmu. Ilmu yang benar, yang akurat. Dan untuk mendapatkan ilmu yang benar itu, yang salah satu yang perlu kita tekuni adalah pemurnian diri secara terus-menerus. 

Spread the love

1 thought on “Kebenaran dan Pemurnian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *