Ilusi Kemandirian

Manusia modern, terutama manusia digital, kerap tanpa sengaja merasa begitu mandiri. Sebegitu mandirinya hingga tak butuh orang lain. Bagaimana tidak? Ia punya penghasilan sendiri. Hidup menyewa kamar kos atau apartemen sendiri. Memesan makanan atau memasak sendiri. Mengisi waktu luang sendiri. Berlibur sendiri. Tanpa kehadiran orang lain ia bisa memenuhi kehidupannya. Maka ketika dihadapkan pada kebutuhan untuk berinteraksi, ia pilih-pilih. Yang ia suka, ia dekati. Begitu hilang suka, ia jauhi. Kembalilah ia pada kesendiriannya. Saat diingatkan orang lain, respons yang muncul adalah, “Urus kehidupanmu sendiri!”

Manusia seperti ini memang tak sedikit di era ini. Manusia yang—setidaknya untuk sementara—merasa hidupnya adalah hidupnya, tak pernah terikat dengan kehidupan orang lain. Yang utama adalah dirinya, haknya.

Tapi benarkah demikian? Benarkah ada kehidupan yang seperti ini? Benarkah ia nyata? 

Sepertinya, sih, tidak. Kesimpulanku sependek ini, semandiri-mandirinya seseorang, ia selalu terhubung dengan orang lain. Bukan cuma orang lain, ia selalu hidup dalam sebuah ruang dan waktu bersama ‘yang lain’. Mari kita tengok deskripsi pada paragraf pertama di atas. 

Penghasilan seseorang, didapat karena ia bekerja. Bekerja yang pasti bersama orang lain. Jika tidak bekerja di sebuah perusahaan bersama yang lain, usaha sendiri pun ia membutuhkan pelanggan untuk membeli produk atau jasanya. Tinggal di kos atau apartemen, pastilah bangunan itu ia tinggal bersama yang lain, dan juga diurus oleh yang lain. Ia memang membayar sendiri, tapi bayaran itu sejatinya harga yang ia dapat karena menanggung bersama yang lain. Urusan makanan, ia pun butuh yang lain untuk menyediakan bahan baku untuk dimasak, atau bahkan memasakkan makanan untuknya, sehingga ia cukup memesan via aplikasi. Bahkan pengantarnya pun, adalah yang lain. Mengisi waktu luang, misalnya dengan menikmati hiburan daring, juga disediakan oleh yang lain. Berlibur pun demikian. Tempat liburan mana yang tak diurus juga oleh yang lain. 

Demikianlah sementara ini, kita tak pernah terlalu bisa hidup mandiri, mengurus urusan kita sendiri, tanpa membutuhkan yang lain untuk melengkapi. Maka memandang kita bisa hidup dengan urusan kita sendiri sungguh adalah ilusi. Sebab bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar makan sendiri saja kita takkan sanggup. Cobalah hadirkan sepiring nasi dari awal, mungkinkah? Sawah untuk menanam tak ada. Alat bertani tak punya, apalagi keahliannya. Gas yang kita gunakan untuk memasak bukan kita yang mengusahakannya. Listrik yang membuat kamar kita nyaman bukan kita yang menggarapnya. 

Sementara itu, jangan pernah merasa bahwa kala kita hidup sendiri, dan tak merasa mengganggu orang lain, itu benar-benar demikian. Jangan-jangan, bukannya kita tak mengganggu, melainkan yang lain merasa tidak—atau belum—terganggu. 

Ambil contoh seseorang yang berbisnis makanan di rumahnya. Ia usahakan semuanya sendiri, hingga pelanggan pun datang. Di era ini, tentu menjual lewat aplikasi daring wajib hukumya. Jadilah perlahan-lahan, datanglah para driver yang menjemput makanan untuk diantar pada pelanggan. Dalam jumlah tertentu, kehadiran pelanggan dan driver itu takkan terlalu terasa mengganggu tetangga. Jadi kemungkinan besar mereka akan maklum-maklum saja. Namun seiring bisnis berkembang, motor yang parkir sembari menunggu pesanan jadi itu tak mungkin muat di depan rumah. Ia akan merambah area tetangga sebelah. Lama-kelamaan akan menimbulkan kemacetan. Pertumbuhan bisnis yang dinikmati oleh sang pengusaha, adalah ketidaknyamanan yang harus dirasakan oleh orang-orang di sekelilingnya. Pilihan mereka adalah terus memaklumi, atau mulai merasa terusik.

Maka selama ini, keberhasilan sang pengusaha yang terus meningkat itu, bukan karena para tetangga tidak terganggu, melainkan belum terganggu. Keberhasilannya adalah berkat kelapangan hati—setidaknya untuk sementara—dari para tetangganya. Tak bisa ia mengatakan, “Ini kan usahaku sendiri, mengapa mereka merasa terganggu?” Sebab kenyataannya, ia berusaha di dalam ruang dan waktu yang juga dimiliki bersama. 

Nah, di sinilah titiknya. Kita tak bisa benar-benar hidup mandiri, sebab kita selalu hidup dalam ruang dan waktu yang dimiliki—atau lebih tepat disediakan—untuk bersama. Tak ada yang benar-benar dimiliki oleh kita, kecuali secuil saja. Rumah yang kita tinggali, tak bisa menampung kotoran yang kita produksi sendiri. Kita membutuhkan ruang lain—ruang bersama—untuk membuang kotoran, sehingga dalam rumah yang kecil itu kita bisa merasa nyaman. Kenyamanan kita, selalu ditopang oleh kenyamanan bersama yang lain. 

Dalam konteks yang lebih luas, sehebat apapun seorang pengusaha, takkan mungkin berbisnis dalam kondisi negara sedang perang, misalnya. Maka kenyataan bahwa ia tinggal di sebuah negara yang penduduknya lebih suka berdamai adalah kemewahan yang melandasi keberhasilan usahanya. 

Jadi, wahai diri yang sedang merasa bisa hidup mandiri, sadarilah bahwa kemandirian murni itu ilusi. Kita perlu berdikari, tapi ia adalah berdikari bersama yang lain. Dunia adalah kehidupan dalam kesalingtergantungan. Kita menjadi mandiri agar bisa diandalkan, kemudian bisa saling mengandalkan. Keahlian kita adalah ruang untuk mengisi ketidakahlian yang lain. Ketidakahlian kita, adalah ruang bagi kita untuk meminta bantuan yang lain. 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *