Tokoh yang ku kagumi pasca BJ Habibie adalah Amien Rais. Tajam sejak lama, ia menyuarakan suksesi. Sungguh bernyali. Toh, pandangannya memang banyak yang akurat, hingga kini. Memang kata-katanya kerap memicu kontroversi, sebab orangnya blak-blakan. Tapi siapa sih yang tak punya kekurangan? Kala reformasi ia tampil di garda depan. Tapi tak ku sangka, partainya tak selaku itu. Selera orang Indonesia memang mungkin agak laen. Ia tak jadi presiden. Sebab mungkin tugasnya adalah mengawal amandemen Undang-undang Dasar 45. Sebuah fondasi yang kita gunakan hingga kini. Ia mendorong naiknya Gus Dur menjadi presiden, sekaligus menurunkannya. Membuat kita pun memiliki presiden perempuan pertama, Megawati.
Terus terang, sampai sekarang aku tak paham bagaimana ibu kita ini memimpin. Yang jelas, ia kuat sebagai pemimpin partai, sebab partainya besar hingga kini. Belum ada suksesi kepemimpinan di partai itu. Tapi perannya tak bisa dielakkan. Aku sendiri tak pernah punya selera para langkah-langkah partai ini, termasuk pada banyak aktivisnya. Bukan berarti mereka semua buruk. Aku tak punya kapasitas menilai itu. Namun sebagai orang awam, seleraku sepertinya bukan mereka.
Pasca kepemimpinan Megawati, SBY mengambil alih. Memanfaatkan momentum ‘perselisihan’-nya dengan Megawati. Menggandeng Jusuf Kalla. Ia menang peride pertama. Aku tak mendukungnya kala itu, lebih memilih mendukung Amien Rais, yang memang takdirnya bukan presiden. Partai Demokrat sempat menjadi partai elit. Isinya tokoh-tokoh intelektual, yang menariknya, seiring waktu, satu demi satu tersangkut kasus korupsi.
SBY dan JK dua kutub kepemimpinan yang berbeda. Yang satu pemikir mendalam, yang lain pragmatis layaknya pengusaha. Di periode kedua mereka tak bersama. SBY memilih Boediono. JK pun menggandeng Wiranto. Jika kalian mengamati nama-nama ini, bukankah nyata yang ku tulis sebelumnya, bahwa orangnya masih itu-itu saja? Ya, reformasi mungkin memang bukan soal menghabisi semuanya. Sebab bagaimana menghabisi semuanya? Siapa semuanya itu? Reformasi mungkin hanyalah sepenggal cara untuk membuka kran suksesi.
Dua periode SBY adalah periode tenang. Stabil. Kondisi ekonomi dan politik, dalam catatan orang awamku, membaik. Kasus-kasus bukannya tak ada, tapi tak sebergejolak itu lah.
Tentang PKS
Waktu PKS masih PK, aku belum tertarik mendukung. Padahal aku kenal dengan gerakan tarbiyah waktu SMA. Dulu aku lebih memilih PAN, di era Amien Rais. Aku ikut liqo, meski tak lanjut saat tengah kuliah. Tapi rupanya aku tak paham hubungan antara gerakan ini dengan partai yang digagasnya. Barulah ketika PK berubah menjadi PKS, aku sadar keberadaan partai ini. Sejak itulah aku mendukung PKS, yang dalam pemikiran awamku partai paling jelas maunya, visinya. Tentu saja ia tak mesti meraih banyak suara. Tapi ia memainkan peran sebagai partai ideal, partai yang didirikan berbasis ide. Saat PKS berkoalisi dengan SBY dan memiliki menteri di dalam kabinetnya, aku sempat kaget. Tapi akhirnya paham. Dan keputusan itu masih bisa ku terima, jadi aku terus jadi pendukung PKS, setidaknya sampai pemilu 2024.
Sejak menjadi PKS, ia membesar. Dan terus memiliki peran. Ia mungkin kecil, suaranya kisaran 7-8 persen, tapi nyaring dan tak bisa diabaikan. Ia punya karakter opisisi, meski ada di dalam koalisi. Aktivisnya mengakar di masyarakat, benar-benar menjadi wakilnya rakyat. Dengan mudah aku bisa menemui kadernya di sekitaran tempat tinggalku, sedang melakukan berbagai pelayanan. Sistem sekolah yang populer sebagai Islam Terpadu adalah buah dari keseriusan kader PKS membangun pendidikan. Ia kerap dikritik, namun aku selalu menemukan jawaban yang memuaskan tentang keputusan yang mereka buat.
Ketika PKS tidak mendukung Jokowi, misalnya, itu masuk akal buatku. Aku sepakat. Ketika mereka memilih Anies untuk Gubernur Jakarta di 2017, itu juga masuk akal buatku. Bahkan ketika 2013 ada kasus yang langsung menimpa presiden partainya, ada logika yang ku temukan akhirnya bisa menentramkan disonansi kognitif dalam pikiranku. Ini bukan partai orang suci. Ini partai orang berusaha jadi baik. Namanya berusaha, ya ada kekurangannya. Dan semakin besar ia, semakin beragam juga isinya. Tapi semuanya bersatu dalam keinginan untuk jadi orang baik. Ini partai yang serius menggarap pendidikan, kerumahtanggaan, kewirausahaan. Kekurangannya mungkin cuma satu, belum berhasil menemukan cara untuk melahirkan tokoh-tokoh yang laku dijual ke masyarakat awam.
Bagaimana penilaianku sekarang? Nanti akan ku tulis pada waktunya.