Aku lahir di tahun 80an. Maka masa kecilku adalah akhir dari Orde Baru. Aku remaja ketika Orde Baru hampir tumbang. Pada masa kecilku, hampir tak terpikir Soeharto akan turun. Kekuasannya begitu kuat. Partainya pun eksklusif. Dari tiga partai peserta Pemilu, selalu disebut dengan “Dua partai politik, dan satu Golongan Karya”. Ya, Golkar tak mau disamakan dengan yang lain. Ia Golongan Karya. Tak setara dengan PDI dan PPP. Kalimat ini masuk dalam pelajaran sekolah, jadi bukan sekedar jargon sehari-hari. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) memiliki dua fungsi. Pertahanan dan keamanan, serta politik. Maka ABRI memiliki posisi khusus di DPR/MPR. Presiden dan Wakil Presiden pada masa itu dipilih oleh MPR. Jadi kita sebagai warga cukup menonton pemilihan itu di televisi—jika punya. Yang jelas, Orde Baru memang hanya memiliki 1 presiden. Wakilnya saja yang berganti-ganti.
Apa yang unik dari Orde Baru bagiku saat ini adalah, para pejabat terpilih selalu adalah orang yang ahli dan mumpuni di bidangnya. Ini tidak untuk mengatakan semua di antara mereka adalah orang jujur, lurus, tulus, ikhlas. Tentu saja kita mengenal Orde Baru lekat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Itu isu karakter. Namun kompetensi, sepertinya tak main-main.
Sejujurnya, aku tak banyak memahami problem masa Order Baru. Mungkin kondisiku kala itu memang nanggung. Kaya tidak, miskin juga tidak. Kami sekeluarga adalah orang kelas menengah yang setidaknya sanggup bersekolah, tinggal di rumah, tak pernah kelaparan. Hanya pernah memang kakakku mengingatkan sambil bercanda, ketika aku mulai menggemari karya-karya Cak Nun, yang kemudian menginspirasiku untuk belajar menulis puisi. “Hati-hati, jangan bikin karya yang mengkritik pemerintah. Nanti kamu ditangkap,” ujarnya. Ia bercanda sebab tentunya tak bakal mengira adiknya ini akan sanggup menulis puisi seperti itu.
Namun dari momen itu aku menangkap latar belakang situasi politik saat itu yang dari permukaan tampak tenteram, namun di belakang menyimpan dendam. Orang-orang marah, namun tak berani bertindak. Kemarahan yang memuncak ketika mereka kelaparan. Ya, krisis ekonomi 1997 membuat dolar melambung. Bisnis-bisnis berjatuhan. Pemerintah menandatangani utang dengan IMF. Sebuah momen yang dikomentari oleh kakakku yang lain lagi, “Negara kita sudah dijual.” Aku tak paham maksudnya dulu. Baru paham bertahun-tahun kemudian.
Gulungan kemarahan memuncak hingga akhirnya demonstrasi besar-besaran menduduki gedung DPR/MPR. Ketua MPR kala itu, Harmoko, meminta Soeharto untuk turun. Soeharto turun. Digantikan oleh BJ Habibie. Aku punya mixed feeling tentang Habibie. Satu isi ia menginspirasi sebagai jenius dari Indonesia. Sisi lain, ya, ia bagian dari rezim. Jadi jika rezim ini dianggap korup, bukankah ia bagian darinya? Barulah ketika beranjak dewasa aku bisa melihat bahwa di dalam kerumunan, tak semua orang sama. Ada orang-orang yang tetap bisa menjadi dirinya di tengah orang banyak. Ia tak terwarnai, melainkan berusaha mewarnai. Dan setidaknya kita kini memahami Habibie adalah salah satu yang demikian.
BJ Habibie memimpin tak lama. Ada banyak kejadian penting dalam masa kepemimpinannya. Lepasnya Timor Timur dari NKRI. Nilai rupiah yang menguat kembali. Merjer bank negara yang jadi Bank Mandiri. Dan mungkin banyak jasa-jasa lain yang belum disadari oleh rakyat negeri ini hingga rezim berganti. Aku belajar bahwa pandangan kita terhadap orang memang tak semata disebabkan oleh apa yang ia lakukan, tapi lebih banyak oleh suasana pikiran dan kebatinan kita yang melihat apa yang ia lakukan. Kini, kita bisa mengatakan bahwa Habibie adalah salah satu presiden terbaik yang pernah dimiliki. Tapi di kala itu, ia hanyalah penerus rezim yang ingin segera kita ganti. Laporan pertanggungjawabannya ditolak. Ia tak mengajukan diri lagi. Namun namanya harum hingga kini. Jadi, sebenarnya tak perlu dua atau tiga periode untuk meninggalkan warisan yang berarti. Cukup tak sampai dua tahun, pemimpin yang baik bisa meninggalkan begitu banyak warna bagi negeri.
Satu hal yang menarik bagiku adalah tentang partai Golkar. Partai ini tetap eksis hingga kini. Cukup besar. Padahal ia punya peran sentral di rezim yang kita runtuhkan. Tokoh-tokohnya pun masih aktif, menentukan siapa yang akan jadi pemimpin negeri ini. Aku sungguh tak habis pikir. Harusnya partai ini hilang, atau setidaknya tak laku. Kenyataannya tidak. Jangan-jangan, reformasi itu memang bukan kehendak semua orang. Jangan-jangan, reformasi itu memang bukan untuk memberantas KKN. Jangan-jangan, reformasi itu memang hanya untuk mengganti Soeharto. Sebab toh, orang-orang di sekelilingnya, anak-anak didiknya, cucu-cucunya, masih menjadi orang-orang penting sampai sekarang. Dan mungkin saja, mereka hanya ingin dapat giliran.
Atau, mungkin memang seperti inikah sejarah perubahan sejatinya terjadi? Tak mungkin sebuah rezim dipotong seutuhnya, lalu diganti. Ia hanya perlu dibersihkan, sebab ia pun mungkin tak sepenuhnya kotor atau rusak. Keburukan sebuah rezim, bisa jadi hanya generalisasi. Toh, negeri ini masih ada hingga kini. Membaca situasi negeri memang tak bisa hitam putih. Di tengah-tengahnya ada gradasi.