Catatan ini dimulai dengan sebuah niat sederhana: menghadirkan data yang mungkin dibutuhkan oleh generasi mendatang. Teringat buku Catatan Harian Anne Frank yang sejatinya ‘hanyalah’ sebuah catatan harian, namun punya manfaat besar untuk menelaah suasana pada zamannya, aku merasa mungkin apa yang ku alami, ku pikirkan, ku rasakan pada masa kini, bagi mereka di masa mendatang, mungkin berguna. Sebab akan selalu ada patahan-patahan sejarah yang membuat orang lupa pada kesalahan masa lalu dan berakhri mengulanginya kembali di masa kini. Semoga apa yang ku tuliskan ini menjadi sekedar filler untuk mengisi patahan di dinding sejarah bangsa ini.
Aku menulis catatan ini sebab aku hidup di dua zaman. Pertama adalah zaman Orde Baru, bagian akhir. Aku mengalami masa runtuhnya rezim itu, dan peristiwa mengerikan yang mengiringinya. Kerusuhan 98 itu meletus tepat ketika aku baru saja menyelesaikan ujian akhir SMP. Pulang dari ujian, sampai di rumah, dan sorenya kerusuhan terjadi. Malam itu mencekam karena adanya berita simpang siur akan penjarahan. Faktanya, ketika komplek rumahku mulai bersiaga di sore hari, aku melihat sendiri para penjarah sebuah mal di Bekasi pulang membawa barang-barang yang mereka ambil.
Hari-hari selanjutnya adalah rentetan peristiwa yang mengubah arah negeri. Sebab aku melihat semacam garis batas yang mungkin kabur, tapi ada. Garis batas itu adalah antara kebebasan yang diberikan kepada ku sebagai warga negara untuk memilih. Kamu yang lahir di era reformasi mungkin tak mengalami masa ketika kita masyarakat itu memang seolah didesain untuk hidup, bekerja, dan membayar pajak. Kita tak terlibat dalam politik. Tak perlu. Sebab politik dan pemerintahan itu sudah ada yang mengurus. Kamu bisa memasuki jalan itu, mungkin. Tapi orang seperti aku tak bisa melihat jalan itu. Aku bahkan teringat momen ketika guru SD ku mengucapkan bahwa presiden Soeharto kemungkinan akan menjadi presiden seumur hidup. Baru belakangan aku belajar di mata pelajaran sejarah bahwa presiden sebelumnya, Soekarno, pun pernah memproklamirkan keingiannya untuk berkuasa seumur hidup, meski gagal. Ah, bukankah harusnya ku sadari di masa itu bahwa sejarah sebenarnya berulang? Ungkapan guruku itu adalah kesimpulan logis yang kami ambil sebagai rakyat biasa. Soeharto memang tidak pernah menyatakan demikian secara eksplisit seperti Soekarno. Namun apa yang ia kondisikan, sistem yang ia bangun, tentu mudah kita baca arahnya.
Tapi reformasi 98 memberikan arah lain. Sebuah patahan. Sebuah garis batas. Setelah itu tiba-tiba partai bisa banyak—sebelumnya hanya 3. Presiden bisa berganti, bisa ditolak pertanggungjawabannya, bisa diangkat, bahkan bisa diturunkan. Semua berubah hanya dalam waktu beberapa tahun. Belum selesai, kebebasan pun bertambah ketika akhirnya presiden bisa dipilih langsung, juga gubernur dan walikota. Nama menteri sudah sulit dihafalkan karena bisa di-reshuffle kapan saja.
Tak semua yang ku pilih menang, tentu saja. Tapi aku tetap merasa punya kebebasan sebagai warga negara. Sampai tibalah tahun ini. Tahun ketika arah baru hasil reformasi itu seolah berbalik. Rezim ini tiba-tiba terasa tak ingin berhenti. Ia ingin mengikuti jejak pendahulunya untuk terus menguasai. Coraknya tentu berbeda. Tapi niatnya sama. Ia ciptakan kembali nuansa bahwa kami-kami warga ini, tak perlu repot menggunakan kebebasan kami. Pemilu akan tetap ada, tapi hasilnya sudah bisa ditebak belaka.
Ah, betapa cepatnya kita ini lupa. Dua puluh tahunan saja, reformasi yang mahal itu hendak dihilangkan jejaknya. Maka rakyatnya pun melawan. Puncaknya adalah hari-hari belakangan ketika tulisan ini ku buat. Demonstrasi yang melibatkan orang-orang yang beberapa tahun ini apolitis. Kiranya yang dilakukan rezim sudah terlalu kentara. Damage-nya mengerikan, kata anak sekarang. Jika tak dihentikan, maka kita akan segera kehilangan kebebasan.
Maka rasanya ku mulai saja lah catatan ini. Semoga bisa terus ku lakukan hingga akhir hayat. Apa yang ku catat tentu saja sesempit pengalaman dan pikiranku. Tapi ku percaya yang sedikit itu tetap kan ada gunanya. Akan ku mulai dengan masa ketika aku rupanya mulai melek politik.