Ketika Sang Pendiri, Pergi

Para pendiri, biasanya adalah mereka yang dikaruniai kemampuan memimpin cukup lengkap. Setidaknya, lengkap untuk digunakan di masa-masa awal pendirian organisasi. Baik itu organisasi bisnis maupun sosial, para pendiri umumnya adalah seorang bervisi panjang, sekaligus eksekutor yang realistis. Ya, sebab tak ada standar dalam pendirian apapun, maka para pendiri memang diharuskan memiliki keseimbangan dalam berabstraksi, dan pada saat yang sama teramat pragmatis. Ia kreatif nan imajinatif, tapi tak sekedar mengawang. Apa yang ia bayangkan harus ‘jadi barang’. 

Maka ketika ia pergi, permasalahan pun mulai terjadi. Sebab orang-orang yang ia miliki dalam organisasi, amat jarang yang memiliki kemampuan selengkap itu. Apa pasal? Ya karena semakin besar sebuah organisasi, semakin spesifik lah berbagai fungsi. Orang-orang yang direkruit dan menangani tiap fungsi pun adalah mereka yang keahliannya pun spesifik. Spesialis. Sebagian yang secara bertahap menjadi pemimpin tim memang berlatih menjadi generalis, namun biasanya pun tak segeneralis itu. Apalagi jika organisasi juga belum memiliki skema pengembangan kepemimpinan yang memadai. Mereka yang naik adalah mereka yang ‘terlihat’. Padahal, memimpin sebuah organisasi menghendaki hal-hal yang ‘terlihat’ dan ‘tak terlihat’. 

Jadilah, ketika sang pendiri pergi, tak ada pengganti yang selengkap itu untuk menggantikan. Jika ini tak ditangani, lama-kelamaan organisasi akan mengalami penurunan. Satu demi satu aspek penting yang dulu ada menghilang, atau setidaknya berkurang. Pengurangan dalam jangka panjang akan memunculkan lubang. Lubang yang making membesar akan merapuhkan bangunan. Organisasi itu pun, lama-kelamaan, menghilang. 

Lalu apa yang bisa dilakukan? 

Pertama-tama, jangan berharap sang pendiri kembali. Terimalah kenyataan bahwa ia telah pergi. Atau akan pergi. Sang pendiri itu tak tergantikan. Tak ada duplikatnya. Jadi tak perlu dicari yang sama.

Kedua, ku amati, organisasi yang berhasil dalam suksesi bukanlah organisasi yang menduplikasi pendirinya, melainkan membangun seperangkat kepemimpinan yang berbeda. Karena para penerus tak ada yang selengkap itu, maka para penerus mesti menyadari bahwa kepemimpinan mereka perlu menjadi kolektif. Kepemimpinan adalah usaha untuk menyatukan berbagai kekuatan, dan mengisi kekurangan. Kekurangan orang lain, adalah ruang bagi kekuatan diri. Sebaliknya, kelebihan diri, bukanlah cara untuk meninggi, tapi jalan untuk mengisi. 

Ketiga, maka bagi para penerus, pelajarilah apa yang baik dari sang pendiri. Mana kemampuan yang cocok dengan diri, lalu berusahalah kembangkan sebaik mungkin. Kemampuan yang tak cocok, mungkin memang ruang bagi orang lain. Kemudian carilah jalan sendiri untuk menghadirkan kontribusi. Waktu bagi sang pendiri itu di masa lalu. Dan masa lalu memang tempat menghadirkan pembelajaran. Tapi ruang menggunakan pembelajaran itu selalu ada di masa depan. Dan masa depan selalu misteri. Jadilah penerus yang membukakan jalan untuk masa depan. 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *