Aku berpendapat, orang yang berkeinginan untuk menjadi trainer, konsultan, atau pengajar lain dalam arti luas, mestilah menulis.
Ini alasannya.
Menulis adalah menuangkan gagasan. Mereka yang terampil dan rajin menulis, bisa dibayangkan memiliki gagasan dan kemampuan untuk menuangkannya. Jika dibalik, mereka yang tak rajin menulis, mungkin memiliki gagasan namun kesulitan menuangkannya. Atau, memang tak punya gagasan sama sekali. Yang mana pun alasannya, menulis memungkinkan kita untuk mengevaluasi gagasan yang kita miliki, dan kemampuan kita menuangkannya.
Tapi mengapa pula ini penting?
Sebab pengajar (trainer, konsultan, dosen, fasilitator, apapun namanya) bertugas untuk mengajar orang lain agar mampu melakukan sesuatu. Dan apa yang diajarkan itu jika bukan gagasan? Gagasan yang berani diajarkan pada orang lain, tentunya gagasan yang sebaiknya telah teruji. Lalu bagaimana sebuah gagasan bisa diuji, jika ia tak pernah dipaparkan? Jika gagasan itu masih ada dalam pikiran?
Menulis memungkinkan gagasan dijabarkan, dibentangkan, sehingga bisa diperiksa dengan berjarak. Diuji kesahihannya. Diteliti baik dan buruknya, lebih dan kurangnya, solid dan lubangnya. Jika pun bukan (atau belum) oleh pembaca, setidaknya oleh diri sang penulis sendiri.
Ya, tulisan adalah cermin dari kualitas pemikiran kita. Dengan dituliskan, kita jadi berjarak dengan pemikiran kita. Dan dengan berjarak, kita bisa mengamatinya, memeriksanya, menelitinya, menentukan kekokohannya. Melalui tulisan, kita bisa menentukan apa yang masih belum kita pahami, dan perlu kita lengkapi. Tak ada pemikiran yang sempurna, tapi setidaknya sebuah tulisan yang baik adalah setangkup gambaran pemikiran yang layak nan memadai untuk diajarkan kepada orang lain.
Adalah seorang ustadz, namanya Ahmad Sarwat, yang mengazamkan dirinya untuk membuat teks tulisan sebelum ceramah. Ya, ia tak pernah mau berceramah hanya bermodalkan ingatan. Setiap ceramah harus didasari sebuah teks yang ia siapkan, meskipun tentu bisa tetap dielaborasi. Jadilah tulisannya melimpah, sebagiannya menjelma berjilid-jilid buku yang telah terbit. Sungguh kebiasaan yang masih sulit ku tiru, tapi setidaknya ia bisa menjadi teladan yang layak untuk diikuti.
Maka pengajar yang tak menulis, bagaimana ia memeriksa pemikirannya? Bagaimana ia kemudian kan memperbaikinya? Meningkatkanya? Jika ia tak memeriksa pemikirannya, bagaimana ia bisa demikian yakin gagasan yang diajarkannya tetap valid? Pun jika ia mengambil dari gurunya, bagaimana ia memastikan bahwa yang ia ajarkan itu selaras?
“Ah, bukankah banyak pengajar yang terkenal dan disukai namun tak menulis?”
Justru itulah yang mengkhawatirkan. Terkenal, tapi tak pernah memeriksa pemikirannya? Digandrungi, tapi tak menelaah ulang ajarannya? Bukankah ia menakutkan?
Nah, implikasi lebih lanjut dari tulisan sebagai pemikiran yang bisa diperiksa adalah ia juga bisa dikembangkan. Tak jarang para penulis mendapati lubang dalam tulisannya, kemudian jadi bisa memperbaikinya. Jika lubang itu demikian besar, ia bisa menjadi tulisan lain. Bahkan menjadi buku lain. Imam Syafi’i, memiliki dua jenis kumpulan fatwa. Yang kedua adalah koreksi (atau pengembangan) dari yang pertama. Imam Ghazali, menulis dengan indah tentang filsafat dalam Maqashidul Falasifah, kemudian mengkritik filsafat dalam Tahafutul Falasifah. Nulis sendiri, mengkritik sendiri.
Berikutnya, dengan dituliskan, sebuah pemikiran juga bisa dikembangkan oleh orang lain. Ada obrolan bapack-bapack, yang karena dituliskan oleh seorang murid, menjadi landasan pengembangan ilmu pengetahuan selama ribuan tahun. Obrolan itu adalah antara Sokrates dan lawan-lawan bicaranya. Penulisnya adalah sang murid, Platon. Dialog-dialog Sokrates dalam karya-karya Platon, demikian menginspirasi para pencinta kebijaksanaan hingga kini. Sampai-sampai Whitehad—filsuf Inggris itu—pernah mengungkapkan sesuatu yang agak bombastis, bahwa, “Sejarah filsafat Barat adalah catatan kaki dari Platon.” Inspiratornya memang sang guru, tapi yang berjasa menjadikan inspirasi itu tersedia bagi banyak generasi adalah sang murid yang menulis.
Maka tak sedikit kita dapati para pengajar nan mendunia adalah pertama-tama para penulis. Stephen R. Covey, John C. Maxwell, Jim Collins, Hermawan Kertajaya, Ary Ginanjar Agustian, Buya Hamka, Franz Magnis Suseno, Tan Malaka, untuk menyebut beberapa yang ada di kepala. Dengan menulis, beberapa yang telah tiada pun tetap bisa mengajar, lewat torehan pena yang dibaca murid-murid virtualnya.
Maka, para trainer, menulislah. Bangun pemikiranmu dengan menuangkannya dalam tulisan. Jadilah pemikir mandiri dengan membangun argumenmu sendiri. Pun jika belum sampai memiliki pemikiran yang unik, pastikanlah pemahamanmu dengan menelaah apa yang sanggup kau tuliskan. Yang sanggup kau tuliskan, itulah yang sampai kini dapat kau cerna. Di titik itulah kan kau temukan ruang-ruang baru pembelajaran untuk dilalui kembali.