Pemimpin Fantasi

Pilkada DKI baru usai. Kemenangan salah satu pihak telah diumumkan oleh beberapa lembaga survei. Respon masyarakat beragam, seberagam pilihan mereka.

Bagi para pendukung calon yang diproyeksikan pemenang, ini adalah sebuah kabar gembira. Angin pembawa harapan makin sejuk berhembus terasa bagi mereka, menandakan Jakarta baru. Sementara itu, pendukung calon yang kalah pun tersenyum-senyum simpul, sambil berkata akan menunggu apa yang akan terjadi 5 tahun ke depan.

Saya?

Biasa saja.

Kok? Memangnya tidak mendukung salah satu calon?

Mendukung. Hanya, ya itu tadi, biasa saja.

Apa pasal?

Sebab saya memang tidak pernah yakin bahwa hadirnya seorang gubernur, akan mengubah segalanya. Hadirnya seorang gubernur, mungkin bisa jadi titik balik perubahan, atau kelanjutan. Tapi titik, ya tetap saja titik. Tidak akan ada kalimat baru hanya sebab sebuah titik. Bahkan, pasca sebuah titik dibubuhkan, perlu ditulis rangkaian kata-kata baru agar lahir makna yang lain.

Dalam pemikiran yang terbatas ini, saya memahami bahwa kepemimpinan memang tidak pernah menjadi kerja pribadi. Kepemimpinan, adalah sebuah kerja kolektif. Memang ada pemimpin yang ditunjuk, namun ia kerdil saja tanpa pengikut yang penuh dedikasi. Sebaliknya, pengikut yang berkomitmen akan mampu mengerjakan banyak hal—termasuk mengganti pemimpinnya yang tak sejalan.

Kepemimpinan, adalah kerja sama antara pemimpin, dan yang dipimpin. Suksesnya sebuah kepemimpinan, adalah usaha untuk melahirkan pemimpin berkualitas, dari rahim pengikut yang berkualitas. Ya, dari mana datangnya pemimpin yang satu orang itu, jika bukan berasal dari kumpulan pengikutnya?

Maka yakinlah kita pada sebuah nasihat yang mengatakan bahwa pemimpin yang baik adalah hadiah yang diberikan pada rakyat yang baik. Dengan kata lain, jangan pernah berharap tiba-tiba muncul pemimpin yang adil, jika sebagai pengikut kita abai pada keadilan. Sebab nasib suatu kaum, takkan berubah tanpa usaha kaum itu sendiri. Dengan kata lain lagi, keinginan rakyat untuk memiliki pemimpin yang baik, sejatinya adalah pekerjaan rumah yang harus mereka kerjakan sendiri: melahirkan calon-calon pemimpin yang baik dari setiap rumah.

Kembali ke soal Pilkada DKI, akankah Jakarta baru terwujud segera setelah terpilihnya gubernur baru?

Hmm…saya sih tak pernah percaya pada perubahan radikal. Perubahan radikal, kalaupun tampak ada, ya memang hanya tampak. Yakni tampak oleh orang-orang yang tak pernah memerhatikan perubahan gradual yang terjadi sebelumnya. Tapi saya yakin Jakarta sedang berubah ke arah yang lebih baik. Ya, sedang. Masyarakat Jakarta masih harus terus memerbaiki dirinya hingga tiba saatnya perubahan total itu akan langgeng.

Dan, saya tak bermaksud hanya membahas Jakarta. Tapi seluruh daerah di negeri ini. Bahkan seluruh bangsa di dunia ini. Saya katakan, berhentilah berharap pada hadirnya pemimpin fantasi, yang dengan sentuhan ajaibnya akan mengubah hidup kita. Bangunlah kepemimpinan dalam dirimu, dalam rumahmu, sebab pemimpin itu akan terlahir dari sana.

Spread the love

2 thoughts on “Pemimpin Fantasi

  1. Saya setuju dgn P Teddy tidak ada pemimpin Fantasi. Sebenarnya siapa pun yang terpilih menjadi gubernur DKI, akan memperbaiki dan menambah prasarana2.
    Saya bukan pengamat Politik dan saya tidak mengikuti berita ini sampai pilkada puteran ke2. Ada yang menggelitik saya, yaitu bagaimana no.3 bisa membuat masyarakat fokus pada apa blm dikerjakan dan melupakan apa yg telah dikerjakan oleh gubernurnya ? Apakah krn track recordnya dan wakilnya dari etnis ttt ataukah ada manuver lain yg di jalankan dlm mengambil hari rakyat ?
    Apa yg salah dr langkah no.1 sehingga org bs dlm sekejap melupakan pembangunan yg telag rampung, spt BKL, kenaikan gaji Lurah sd RT ?
    Saya bener2 tergelitik dgn manuver2 dr para pemimpin. 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *