Siang tadi, saya dan beberapa rekan fasilitator dari Dunamis silaturahim ke rumah Pak Nugroho Supangat. Pak Nug, begitu biasa kami memanggil beliau, adalah Chairman dan Knowledge Fellow dari Dunamis Organization Services. Perusahaan yang lama mengenal produk pelatihan dari FranklinCovey pasti mengenal beliau.
Ya, sudah sejak beberapa bulan terakhir beliau memang sakit yang cukup membutuhkan waktu pemulihannya. Alhasil, lama sekali rasanya sejak terakhir kali saya melihat beliau di kantor. Terhitung sejak bergabung di Dunamis, memang saya agak jarang berinteraksi langsung. Namun beberapa pertemuan itu saja, rasanya selalu menyisakan pembelajaran yang berharga.
Dulu sekali, dalam sesi memonitor WIG (Wildly Important Goals) tim fasilitator, beliau menyampaikan sesuatu yang masih saya ingat sampai sekarang. Bahwa pekerjaan kami ini sejatinya dapat dirangkum dalam 3C, Connecting Content to Context. Sebagai penyedia jasa pelatihan, kami memiliki materi yang bagus. Tapi agar ia bermanfaat dan berdampak pada klien, fasilitator perlu memfasilitasi agar materi tersebut dapat sesuai dengan konteks yang dialami oleh klien. Jadilah modul yang sama, akan menjelma menjadi kelas yang berbeda, tiap kali berganti peserta. Jadilah istilah kontekstualisasi sesuatu yang umum terdengar di kalangan para fasilitator.
Nah, dalam obrolan siang tadi, saya pun kembali mendapat istilah yang menarik dari Pak Nug. Bahwa sekalin 3C yang tadi, ada 3C lain yang harus dilakukan oleh fasilitator, yaitu Connecting Content to Content. Bahwa tiap materi, sejatinya memiliki keterkaitan satu sama lain. Materi pelatihan bukanlah sesuatu yang terpisah-pisah. Satu materi selalu perlu didukung oleh materi yang lain. Tugas fasilitator lah untuk membantu klien memahami bahwa materi pelatihan itu utuh, tak dapat dipilah-pilah. Benar bahwa dalam mengaplikasikannya perlu tahapan. Namun akan segera kita pahami bahwa kemampuan seseorang untuk mengasah dirinya (Sharpen the Saw, Habit 7 dalam The 7 Habits), misalnya, amat sangat bergantung pada kemampuannya untuk mengelola pikiran dan perasaannya (Be Proactive, Habit 1 dalam The 7 Habits).
Mengapa perlu melakukan hal ini?
Agar peserta dapat mengaplikasikan materi secara utuh dan mendapatkan hasil optimal. Sebab layaknya kendaraan, materi yang tak dipahami utuh itu serupa mobil yang ukuran keempat bannya tak sama. Jangankan nyaman, bisa berjalan dengan selamat saja sudah syukur.
Beberapa kali dalam obrolan tadi siang, Pak Nug menekankan akan pentingnya peran fasilitator, tidak saja sebagai pengajar. Sebab kelas, tidak akan mengubah seseorang. Yang akan mengubah seseorang adalah materi kelas yang sesuai dengan kebutuhan (artinya memerlukan kesungguhan analisa kebutuhan sebelumnya) dan implementasi yang penuh ketekunan (kontekstualisasi materi sehingga peserta bisa mempraktikkannya dalam dunia nyata). Beliau pun mengingatkan kami pada sebuah kaidah dari para pendiri FranklinCovey, bahwa yang kita lakukan adalah, “Training, in a consultative manner.” Yang kita berikan memang pelatihan. Namun bukan sekedar kelas yang berdiri sendiri. Ia mesti sebuah kelas yang memfasilitasi peserta untuk menjalankan perubahan secara efektif. Maka trainer/fasilitator, harus lah pula menjadi seorang konsultan.