Di masa awal saya belajar NLP, kerap terdengar bahasan bahwa pikiran kita tak mengenal kata negasi. Maka kita tidak dianjurkan menggunakan kata ‘jangan’, misalnya. Sebab berkata ‘jangan marah’, hanya akan membuat seseorang memikirkan kemarahan. Lebih baik, ujar bahasan itu dulu, langsung saja gunakan kalimat semacam, ‘tenanglah’. Anjuran serupa ini cukup populer pada masanya, sehingga banyak orang berduyun-duyun untuk menghindari penggunaan kata jangan dan sejenisnya.
Dulu, saya sempat amat meyakini hal ini. Sampai pada satu waktu sebuah pertanyaan pun muncul dalam diri: masak sih kata jangan tidak bisa digunakan? Kalau kata jangan dan semisalnya tidak bermanfaat, mengapa ia ada? Bukankah setiap kata memiliki fungsi masing-masing?
Penelusuran pun berlanjut, hingga akhirnya saya mendapati sebuah penjelasan yang lebih masuk akal. Tentunya ada pakar bahasa yang lebih kompeten dan lebih dulu menerangkan hal ini. Saya hanya baru bisa memahaminya saja.
Kata negasi, memiliki fungsi seperti rem dalam kendaraan. Apa jadinya kendaraan tanpa rem? Tentulah akan membawa pengemudinya pada kecelakaan. Rem, sama pentingnya dengan gas. Memang, kita tidak bisa sampai tujuan hanya dengan menginjak rem. Kita bisa sampai tujuan sebab kendaraan kita di-gas dan diarahkan ke tujuan. Tapi hanya menginjak pedal gas melulu tanpa pernah mengerem pun hanya akan menyampaikan kita ke rumah sakit terdekat. Sebab tak ada jalan yang terlalu lurus, sehingga kita tidak perlu menyesuaikan arah kendaraan. Dan ketika sebuah jalan berkelok, kita perlu melepaskan pedal gas, dan memainkan pedal rem sebagai gantinya. Begitu pun ketika macet serupa di Jakarta ini. Meski jalan lurus, kita mesti banyak-banyak memainkan irama rem dan gas, sebab banyak kendaraan di hadapan. Hanya mengandalkan gas di kondisi macet berarti akan menjadikan diri kita masuk berita di koran esok pagi. Hehehe…
Maka kalimat ‘buanglah sampah ada tempatnya’, itu tak menggantikan ‘dilarang buang sampah disini’. Keduanya sama-sama memiliki fungsi. Kata negasi serupa ‘dilarang’ atau ‘jangan’—ibarat rem—berfungsi menjadi penanda untuk menafikan apa yang dinegasikan. Kalimat ‘jangan ngebut’ itu penting, sebab memang ngebut itu berbahaya. Kita memang perlu tahu dan sadar akan bahayanya. Dan kata negasi berfungsi untuk mencegah kita melakukannya. Posisi kalimat ‘jangan ngebut’ sungguh setara dengan kalimat ‘maksimum kecepatan 10km/jam’. Yang kedua tidak menggantikan yang pertama.
Maka dalam ajaran agama, memang bertebaran penggunaan kata negasi seperti ‘jangan berzina’, ‘jangan menyekutukan Allah’, dll. Sebab perbuatan-perbuatan buruk itu nyata adanya, kita mungkin terjerumus, maka kita perlu mengenalinya—ya, perlu memikirkannya—dan mencegah diri darinya.
Jadi boleh kah kita menggunakan kata negasi?
Ya boleh banget. Ia sama pentingnya dengan mengucapkan kalimat dalam bentuk yang positif.
Lalu bagaimana dengan kata ‘mengapa’?
Sama. Dulu pun banyak bahasan yang menganjurkan kita untuk tidak menggunakan kata ‘mengapa’ (Tuh kan, gimana coba jadinya kalimat ini kalau saya tidak menggunakan kata ‘tidak’. Repot kan?). Pasalnya, kata ‘mengapa’ kerap membuat seseorang yang ditanya mengemukakan alasan yang semakin menguatkan kondisinya. Misal ada seseorang terlambat, maka bertanya, “Mengapa kamu terlambat?” hanya akan membuatnya mengungkapkan hal-hal yang menjadi alasan ia terlambat, hingga tak kunjung menemukan solusi. Kita dianjurkan untuk langsung saja bertanya, “Bagaimana kamu bisa datang tepat waktu?” Begitu katanya.
Meskipun saya sepakat pada alasannya, saya tidak sepakat jika kata mengapa tidak bisa digunakan. Sekali lagi, sebab setiap kata punya fungsi. Jika tidak, maka kata itu pasti sudah hilang dalam sejarah. Atau kah kita hendak membuat sejarah dengan menghilangkannya?
Kata ‘mengapa’ dan sejenisnya, memang membuat seseorang mengemukakan alasan di balik sesuatu. Dan justru sebab itu lah, kita jadi tahu—dan karenanya membuatnya sadar—akan sebabnya. Persis dengan bahasa soal kata ‘jangan’ di atas, kata ‘mengapa’ pun punya posisi yang setara dengan kata ‘bagaimana’. Maka bertanya ‘bagaimana kamu bisa datang tepat waktu’ bukanlah pengganti dari ‘mengapa kamu terlambat’. Keduanya saling melengkapi. Dalam khazanah Neuro Semantic, kata ‘mengapa’ termasuk jenis Meta Question, yakni pertanyaan yang akan menggiring kita untuk menelaah kerangka berpikir yang kita gunakan. Setelah kita sadari, kita kemudian bisa memutuskan apakah kerangka berpikir itu masih relevan digunakan atau tidak.
Jadi ketika kita bertanya ‘mengapa Anda terlambat’ dan jawaban kita dapat adalah ‘jalanan macet’, bukan berarti ia tak bermanfaat. Justru kita jadi paham bahwa kerangka berpikir soal jalanan macet ini lah yang membuatnya belum memunculkan perilaku antisipatif, mengingat tinggal di Jakarta memang selalu macet. Dari sini, dalam konteks coaching, saya kerap mengajak klien untuk meninjau ulang kerangka berpikir itu, dan memutuskan apakah ia masih relevan untuk dirinya.
Sisi lain, kata ‘mengapa’ justru amat perlu digunakan untuk membantu kita memiliki alasan yang kokoh. Alasan yang akan menjadi kerangka berpikir dan bertindak. Dalam teknik NLP yang bertajuk Well Formed Outcome (WFO), setelah kita menentukan tujuan yang diinginkan, kita akan ditanya ‘mengapa kita menginginkan itu?’. Jawaban atas pertanyaan ini akan mengajak diri ini mengevaluasi alasan di balik diinginkannya tujuan tersebut. Sebab tujuan yang mungkin tercapai, adalah ia yang memiliki alasan kuat. Tanpa alasan kuat, sebuah tujuan tak lebih daripada pajangan.
Jadi, bolehkah kita bertanya ‘mengapa’?
Ya boleh banget. Ia sama pentingnya dengan menanyakan ‘bagaimana’, ‘dengan siapa’, ‘apa’, ‘dimana’, dst.
Mantabh! Saya sudah lama merasa penasaran, kapan dan bagaimanakah waktu dan cara yg tepat untuk menggunakan “rem” berupa negasi itu. Mohon dijelaskan. Terima kasih 🙂
Betul betul ‘klik’. Setelah ditunggu-tunggu, akhirnya keluar juga penjelasan mengenai penggunaan ‘jangan’ dan ‘mengapa’ dari mas Teddi. Terima kasih mas Teddi.