Tiada manusia sempurna. Bahkan ketaksempurnaan itulah sebenarnya kesempurnaan. Sebab sempurnanya manusia ialah kemampuannya tuk memperbaiki diri, yang darinya ia menapak naik dari anak tangga terendah ke puncak nan paling tinggi. Maka berguru pada manusia, berarti menyadari bahwa ia tetaplah tak lepas dari cela. Ada kurang dalam langkahnya. Ada tabu dalam katanya. Sebagaimana ada pula elok dalam ajarannya.
Seseorang menjadi guru bukan tersebab ia telah paripurna. Melainkan karena ia telah menapaki cukup banyak jalan tuk mengajarkan apa-apa nan layak dan tak layak dilalui. Maka pada guru nan terus belajar, kita mengikut pada jalannya yang terus mendaki.
Bersabarlah, wahai diri, pada kekurangan gurumu. Sebab ia pun, sejatinya sedang terus diajari dengan keberadaanmu. Kala telah matang, jadilah pengisinya. Tutupilah aibnya. Doakanlah Allah mengampuninya. Pada waktunya kelak, kau pun kan berada di posisinya. Menyediakan dirimu tuk mengajari dan diajari.
Gurumu tak sempurna, namun ilmu yang dialirkan padanya pasti baik adanya. Sebab ilmu berasal dariNya, ia kan meresap meski ditabiri lumuran kesalahan. Kata-kata yang baik, kan tertanam jua dalam pikiran dan perasaan, sekalipun tak serta merta mewujud jadi tindakan.
Sisi lain, perlunya kita beradab ketika dihadapkan pada kekurangan guru, adalah bisa jadi ia tampak lantaran kepandiran diri ini. Tengoklah tindakan Khidir yang dikomentari Musa. Bukan Khidir yang salah, namun Musa lah nan belum sampai. Maka simpanlah keinginan tuk mempertanyakan. Sebab kadang ia justru menunjukkan kebodohan diri sendiri. Terimalah kenyataan bahwa ilmu ini tak seberapa. Apa nan diajarkan, kerjakan dulu hingga jadi amalan. Kala telah mahir, sempurnakanlah ajaran sambil jalan.
Sesejatinya pembelajar tak mencari guru sempurna. Ia hanya merasa perlu belajar pada siapa pun yang tahu apa nan tak diketahuinya. Yang mampu mengerjakan apa nan diperlukannya. Ilmu laksana puzzle. Tiap potongan hadirkan makna. Hanya ketika telah tersusun semuanya lah tersibak keutuhan rupa.
Saat sedang mengajar, seorang guru sebenarnya menyerahkan estafet ilmu pada kita. Maka ketaksempurnaanya, sebenarnya adalah ruang bagi kita tuk mengisinya. Melengkapinya. Meneruskan perjalanannya. Ilmu serupa bangunan. Yang dilihat orang adalah kemegahan bentuk akhirnya. Padahal ada jutaan bahkan miliaran batu kerikil yang menopang wajah kemegahan itu, tak terlihat.