Masalah Hasil, Masalah Kepemimpinan

Beberapa waktu lalu saya mengobrol dengan seorang kawan. Ia pebisnis. Kami mengangkat sebuah persoalan. Persoalan manusia. Manajemen SDM. Pertanyaan kami adalah: Kapan seorang pengusaha menyadari bahwa organisasinya perlu fokus pada manajemen SDM? Kapan ia mulai mau berinvestasi serius, misalnya, untuk merekruit dan mendidik ‘orang-orang SDM’? 

Jawaban sementara kami: saat ia mulai menyadari bahwa hasil yang ia harapkan, adalah dampak dari pola kerja orang-orang yang ia punya. Dan pola kerja dari orang-orang yang ia punya, hanyalah fungsi dari perilaku kepemimpinan yang ada dalam organisasinya. 

Eh, bagaimana maksudnya?

Begini. Para pengusaha biasanya memiliki naluri dalam menelaah permasalahan yang ada di bisnisnya. Anggaplah ada persoalan: omset restoran turun. Apa kemungkinan yang kerap kali dianggap sebagai penyebabnya? Produk yang kurang menarik lagi bagi pelanggan. Basis pelanggan yang kurang sehingga perlu ditingkatkan lewat aktivitas pemasaran. Efektivitas operasional agar pelayanan lebih baik sehingga pelanggan tidak lari karena menunggu terlalu lama. 

Semua itu memang isu yang valid. Dan yang kerap kali menjadi naluri pula adalah melakukan intervensi langsung di lapangan dengan instruksi taktis maupun mengubah SOP. Banyak pengusaha melakukan hal ini. Banyak pula yang berhasil. Sampai mereka tidak lagi memadai. Kapan itu? Berikut ini curhat seorang kawan. 

Kawan ini adalah pengusaha restoran. Suami istri. Suatu kali mengeluh mengapa sulit meningkatkan pertumbuhan. Berbagai cara yang di atas kita sebutkan sudah dicoba. Berjalan sejenak, tapi tak pernah lama. Padahal, di awal usaha mereka berdiri, persoalannya tak serumit ini. Ya, waktu cabang restoran mereka di area Bogor baru 3. Sekarang sudah meningkat jadi 10. Sesuatu yang mereka syukuri, tentu saja. Namun menambah pula sakit kepala. 

Mengobrol lebih dalam, terbuka sedikit permasalahan. Dulu, saat cabang hanya 3, kedua pendiri ini kerap berkeliling dari cabang ke cabang mengawasi operasional restoran. Begitu mudah bagi mereka mengobservasi situasi, menganalisa permasalahan, dan memutuskan solusi. Tentu saja. Cabang baru 3. Tapi ketika cabang meningkat jadi 10, rutinitas ini tak sepenuhnya bisa dilakukan seefektif dulu. Ya, tak semua cabang bisa sesering dulu diawasi. Sehingga tak semua masalah selesai pada hari itu juga. 

Kan ada manajer restoran? 

Nah, tepat di situ masalahnya. Manajer restoran yang mereka angkat, meminjam istilah mereka sendiri, masih manajer ala-ala. Karena sebagian besar karyawan yang mereka rekrut sejak awal adalah berbasis keahlian sebagai pelayan toko, juru masak, dll, maka para manajer ini sebenarnya belum betul-betul kompeten sebagai pemimpin. Mereka disiplin menjalankan instruksi, namun belum terampil merumuskan sendiri instruksi berdasarkan analisa atas situasi. 

Ya gampang dong kalau begitu. Buat saja para manajer itu kompeten. 

Ah, tidak semudah itu ferguso. Kepemimpinan dan manajemen itu seperangkat besar kompetensi yang kompleks. Membutuhkan tahapan dan waktu yang tak sebentar. Pilihannya dua: melatih para manajer ini sendiri, atau ‘membeli’ keahlian manajer yang sudah berpengalaman dari tempat lain. Membeli keahlian dengan merekruit yang sudah berpengalaman kerap menjadi pilihan. Tapi ada dua konsekuensi. Pertama, harganya tentu lebih mahal. Kedua, belum tentu langsung cocok dengan budaya organisasi yang sudah berjalan. Saya punya kawan level manajer yang paling lama satu tahun bekerja sebelum kemudian merasa tak cocok dan memilih pergi ke tempat lain karena ketidakcocokan budaya. 

Lalu bagaimana dengan pilihan melatih? Nah ini relatif lebih murah. Namun membutuhkan kesabaran. Sebab, pada saat pengusaha mengharapkan manajernya untuk bertumbuh, sejatinya mereka sendirilah yang harus lebih dulu bertumbuh. Pengembangan kepemimpinan lebih merupakan proses belajar bersama daripada instruksi untuk belajar. 

Tapi mari kita bahas detilnya lain waktu. Kali ini saya hanya ingin menekankan bahwa hasil selalu berkorelasi dengan kepemimpinan. Terutama hasil jangka panjang. Hasil dalam konteks organisasi yang lebih kompleks. Maka pengusaha yang baru membuka satu restoran memang belum membutuhkan pengembangan kepemimpinan. Kepemimpinan masih bertumpu penuh pada dirinya saja. Namun ketika organisasi berkembang, sementara dirinya tak bisa dibagi-bagi, ia perlu berlatih membagikan kepemimpinan kepada orang lain. Orang yang tak sama dengan dirinya. Ia perlu menjadi guru. Guru yang mendidikkan kepemimpinan. 

Lebih jauh dari itu, ia perlu meng-upgrade dirinya sebagai pemimpin. Ia perlu mengakui kekurangannya. Bahwa ‘tangan’-nya tak sepanjang itu. Bahwa pengetahuannya tak seluas itu. Bahwa ‘mata’-nya tak setajam itu. Ia perlu berlatih untuk ‘meminjam tangan’ orang lain. Ia perlu belajar untuk mengenali manusia, mana yang mau dan mampu ia ajak bertumbuh bersama sebagai pemimpin. Ia perlu memperluas cara pandang bahwa manusia itu khas, tak sama dengan dirinya, karenanya justru kan melengkapi dirinya. Singkatnya, ia perlu terlebih dahulu ‘menjadi’ pemimpin, kemudian mempraktikkan perilaku kepemimpinan. Dengan demikian ia meneladankan kepemimpinan. Sebab kepemimpinan, menariknya, memang paling banyak dipelajari lewat keteladanan. 

Bagaimana jika ia tak berkenan menempuh jalan ini? Ya ia harus menerima bahwa bisnisnya akan begitu saja. Tapi satu hal yang perlu disadari, jalan ini adalah jalan yang tak saja berguna menumbuhkan bisnis, melainkan juga menumbuhkan masyarakat kompeten. Bisnis yang sungguh-sungguh berinvestasi pada manusia adalah bisnis yang menyumbang SDM berdaya bagi tempat hidup mereka. 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *