Mengurai Takdir

Seminggu yang lalu aku menonton sebuah film berseri dari Taiwan. Bukan hal yang menjadi kebiasaanku memang, namun di dalamnya aku menemukan sebuah pelajaran tentang kejernihan. Salah seorang tokoh utama diceritakan menderita kanker hati stadium lanjut dan divonis hanya memiliki sisa umur 3 bulan lagi. Ia yang juga adalah seorang GM sebuah perusahaan besar sekaligus anak dari sang pemilik sedang menjalani karir yang amat menjanjikan ketika itu. Di tengah keputusasaanya, satu kali ia bertemu dengan seorang perempuan gemuk yang bekerja di kantornya sebagai cleaning service. Kisah menarik muncul ketika si GM bertanya tokoh kocak ini, “Apa yang ingin kau lakukan jika kau tahu kau hanya punya sisa umur 3 bulan lagi?” Si perempuan pun menjawab, “Membahagiakan orang-orang yang kucintai, melakukan perbuatan baik yang tidak pernah kulakukan sebelumnya, dan tentu saja mencari pacar kalau memang belum punya.” Belum selesai senyum tersunggi di bibir si GM, perempuan itu pun melanjutkan, “Tapi apa bedanya punya sisa umur 3 bulan lagi, 3 tahun lagi, atau pun 30 tahun lagi? Orang yang sehat pun tidak pernah tahu kapan ia akan mati. Hari ini, besok, atau tahun depan, juga tidak ada bedanya. Tidak ada yang menjamin kita yang merasa kuat tidak mati sore ini. Jadi ya, apa yang akan kulakukan hari ini ya menjalani saja dengan sebaik yang aku bisa.”

Sebuah pernyataan menarik yang sekaligus menggelitik pikiranku. Terlepas dari problematika para dokter yang berlagak menjadi Tuhan, cara pandang sang tervonis menjadi hal yang lebih penting untuk dikaji. Sejurus kemudian aku pun teringat pada ajakan Gede Prama untuk menjalani hidup hari ini. Terkesan hedonis? Bisa jadi, jika yang dimaksud adalah sama sekali tidak memikirkan masa depan dan berfokus pada apa yang ada di hadapan. Gaya hidup yang belakangan memang merusak jika tidak diimbangi dengan pola pikir antisipatif yang mendalam, namun mindset terlalu banyak memikirkan masa depan juga membuat kita menjadi orang yang paranoid.

Benar bahwa Tuhan menciptakan yang namanya takdir. Konon, setiap hal yang akan kita lalui telah ditakdirkan semenjak ruh kita ditiupkan ketika dalam kandungan dulu. Hanya saja, terlalu sering seseorang berpikir ia telah mencapai takdirnya hanya ketika ia merasa telah kepentok dan belum terlihat adanya tanda-tanda jalan keluar.

Bagiku, cerita dalam film tadi setidaknya mengingatkanku akan satu hal: Tuhan tidak pernah memberitahu 1 orang pun di dunia ini tentang takdirnya. Implikasinya? Kitalah yang seharusnya mengeset takdir kita sendiri. Meminjam istilah kepemimpinan, takdir tidak lain adalah visi alias tujuan akhir yang kita inginkan dalam hidup. Sebagaimana layaknya sebuah visi, ia harus dijabarkan dalam langkah-langkah nyata untuk mencapainya. Alih-alih takut kepadanya, “Menjalani sebaik yang aku bisa” takdir hanyalah sahabat yang bermaksud mengantarkan kita menyelam ke dalam diri, mencari kesempurnaan yang lama jauh terpendam. Mencermati setiap detik yang kulewati, setiap hal yang tampak di oleh mataku, setiap hal yang indah kusentuh dengan ujung jariku, setiap suara yang kudengar merdu di telingaku, tidak mungkin Tuhan menciptakan semuanya untuk dilewati tanpa suka cita. Ia menjadikan takdir sebagai pemandu, agar setiap detil yang Ia ciptakan bisa kita nikmati dan syukuri.

“Ia yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya,” ujar Jalaludin Rumi suatu kali. Perjalanan mengurai takdir menjadi tamasya ruhani akan menjadikan setiap wajah cantik untuk dilihat, setiap suara merdu untuk didengarkan, dan setiap rasa nikmat untuk diresapi.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *