“Di sebalik keburukan seseorang, sadarilah kebaikannya. Di sebalik kebaikan seseorang, maklumilah kekurangannya.”
Adalah fitrah bagi jiwa tuk cenderung pada kebaikan. Pun adalah fitrah bagi jiwa tuk abai pada keburukan. Maka apa yang baik, pastilah kita dekati. Begitu pun apa yang buruk, jelas lah kita jauhi.
Ini jelas, tak perlu jadi soal.
Yang menantang, sungguh bukan membedakan keduanya, melainkan sebab ia tak pernah benar-benar bisa terpisahkan. Siapa kah dia yang memiliki berjuta kebaikan, dengan tak satu pun keburukan? Siapa kah pula dia yang memelihara beragam keburukan, dengan tak satu pun kebaikan? Bukankah setiap diri dihargai, semata sebab Tuhan tutupi banyaknya aib ini? Terbuka setitik saja, segera lah runtuh kemuliaan ini.
Maka demikianlah memang kita diajarkan, yakni untuk adil seadil-adilnya. Bahwa kala mencermati keburukan seseorang, janganlah keterlaluan, sebab barangkali masih tersisa kebaikannya. Begitu pun kala menikmati kebaikan seseorang, janganlah berlebihan, hingga menganggapnya sempurna, lalu sulitlah memaklumi kekurangannya kala terampak.
Tetaplah yakin pada seseorang yang sedang berkubang dengan keburukan. Moga kebaikan yang masih tersisa, mengembalikannya ke jalan yang lurus. Tetaplah pula maklum pada seseorang yang sedang terkuak keburukannya, sedang ia berada dalam banyak kebaikan, sebab bisa jadi Tuhan hendak menyempurnakan kebaikannya.