Kala kanak-kanak, bolehlah kita hanya ingin bermain, tak pusing dengan hal yang dinamakan pekerjaan. Halal bagi kita berbuat salah, sebab setiap kesalahan adalah lahan pembelajaran. Sah saja ketika ada silap laku dan kata, karena semua maklum bahwa diri ini masih lugu, tak layak ditiru.
Tapi lain cerita ketika kita beranjak dewasa. Kewajiban adalah kewajiban, tak bisa
ditawar. Sulit pula berbuat salah, sebab konsekuensinya pastilah berat. Apalagi ketika kita bicara soal keteladanan. Begitu dewasa, maka sah lah kita, suka tak suka, menjadi teladan bagi yang muda. Maksud tak maksud, mereka kan melihat apa yang kita lakukan. Beruntung jika kebaikan yang kita teladankan. Bahaya jika sebaliknya.
Maka kita memang adalah guru, sebelum yang lain. Sebab sadar tak sadar, tiap laku kita ditiru. Oleh adik, anak, tetangga, bahkan yang kita temui di jalanan. Tak ada alasan bagi kita untuk tak menjadi teladan, atau satu saat kita bisa jadi melihat seseorang yang berperilaku buruk, hanya karena menirunya dari kita.
Teringatlah akan sebuah ungkapan bijak oleh Stephen R. Covey, “Kita meninggalkan warisan, baik kita memilih ataupun tidak.” Kata dan laku, sengaja tak sengaja, kita wariskan pada orang lain. Begitu pun kita, niat tak niat, mewarisi kata dan laku dari orang lain. Sebab meniru memang cara tercepat untuk belajar.
Maka tak layak lah seorang diri kita berbuat nista, dan berkata kita sendiri yang kan menanggung dosanya. Karena setiap perbuatan, sejatinya adalah perbuatan sosial. Ya, tak ada perbuatan yang betul-betul personal. Setiap kali ia terlihat, ia membekas, menjadi jejak untuk diikuti.
Jadilah pilihan hanya dua: melepas jejak kebaikan atau keburukan. Melepas jejak keburukan, bersiaplah menjadi penunjuk kenistaan, dan merasakan akibatnya. Melepas jejak kebaikan, bersiaplah menjadi penunjuk kemuliaan, dan mendapatkan ganjarannya.