Ngobrol Soal ‘Personal Branding’

“Mas, kok saya lihat Mas nggak mencantumkan tag line sih? Misal seperti ‘Motivator X, atau Inspirator Y?” tanya seorang sahabat.

“Karena saya memang tidak layak memasang gelar apapun,” jawab saya.

Dengan nada heran, sahabat saya pun bertanya kembali, “Loh, bukannya itu penting ya Mas untuk personal branding? Kita kan harus menentukan brand kita akan seperti apa.”

“Sepakat. Hanya saya memiliki cara pandang yang berbeda soal personal branding,” jawab saya lagi.

Matanya menunjukkan minat, “Seperti apa tuh?”

Personal branding, bukanlah sesuatu yang kita buat, melainkan sesuatu yang kita dapat. Kita tidak bisa menggelari diri sendiri dengan gelar tertentu, sebab gelar memang bukan kita yang membuat sendiri, melainkan diberikan oleh orang lain. Tapi, kita bisa mengusahakan untuk melakukan perilaku yang kita harap menjadi brand kita.”

“Jadi maksud Mas, membuat gelar sendiri itu tidak perlu?” tanyanya lagi.

“Ya. Bahkan menurut saya, menggelari diri sendiri, tanpa basis perilaku yang kokoh, akan menjadi bumerang, ketika kita tidak berhasil menunjukkan perilaku yang sesuai dengan gelar tersebut. Brand, kan sejatinya sebuah simbol akan kumpulan perilaku. Menjadi mudah bagi banyak orang untuk mengenali brand kita, ketika kumpulan perilakunya sudah ada. Bahkan, tanpa kita buat pun, orang akan ‘memberi’ kita brand,” lanjut saya.

Sahabat saya semakin penasaran, “Bagaimana Mas bisa memahaminya demikian?”

“Coba saja tengok orang-orang besar dalam sejarah. Adakah orang, misalnya, yang kita sebut-sebut sebagai ‘guru bangsa’, pernah menggelari dirinya sendiri? Jika ya, saya yakin ia tak pernah benar-benar menjadi guru bangsa. Tengok pula ulama-ulama besar yang menyejarah, adakah beliau memasang sendiri gelar-gelar yang kini kita kenal? Tidak, masyarakat lah yang memberinya. Guru-guru dan murid-murid mereka lah yang menyematkannya.”

Dahinya sedikit berkerut, “Hmm..benar juga ya.”

“Ya. Mereka tidak pernah menggelari diri sendiri. Mereka hanya melakukan apa yang mereka yakini benar dan penting untuk dikerjakan. Mereka fokus pada apa yang menjadi kekuatan dirinya. Mereka kerjakan kesemua itu dengan penuh kesungguhan, tanpa pamrih. Hasilnya? Karya-karya luar biasa yang hadir sebab tak terikat imbalan. Akhirnya, mungkin karena ada rasa ‘berhutang budi’, orang-orang menggelari mereka dengan sebutan-sebutan mulia. Tapi bahkan ketika itu terjadi pun, mereka tak terlalu peduli, karena memang bukan itu pula yang dicari.

“Maka personal branding, menurut saya, bukanlah sesuatu yang kita buat untuk membuat diri kita dikenal dengan nama tertentu. Ia adalah proses untuk mengekspresikan kemampuan, sebagaimana kita dianugerahi Tuhan. Tiap orang punya potensi, bakat, yang tak tergantikan. Ekspresikan itu, wujudkan dalam karya nyata. Maka efek sampingnya adalah personal brand.”

“Efek samping?” tanya sahabat saya lagi.

“Ya, efek samping. Sebab sulit bagi kita mengeskpresikan diri, jika fokus pada apa yang akan kita dapat dari sebutan orang lain. Ekspresi diri yang otentik, akan muncul kala kita fokus pada karya. Pada apa yang bisa kita kontribusikan pada kehidupan. Pada apa yang memang merupakan tugas yang diberikan pada kita di dunia.”

“Wah, menarik nih Mas,” matanya makin berbinar.

“Sangat. Maka pertanyaan yang penting soal personal branding adalah, ‘Apa sumbanganmu bagi kehidupan?’ Lalu berjalanlah di muka bumi dengan langkah yang nyata untuk mewujudkannya.”

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *