Berangkat kerja jam 05.30 pagi, sampai di kantor jam 07.30. Pulang kerja jam 17.30, sampai di rumah jam 19.30.
Itu adalah jadwal dalam kondisi normal, orang-orang yang bekerja di Jakarta. Kelas menengah, yang tinggalnya di pinggiran kota. Belum termasuk jika ada tugas yang menghendaki pulang lebih akhir, hingga terkadang jam 20.00 baru berangkat dari kantor. Maka bisa ditebak, sampai di rumah anak-anak sudah tidur.
“Jika tidak bekerja keras seperti ini, akan lama sekali kita bisa sukses,” demikian sebuah kalimat meluncur dari banyak orang. “Kita kan memang harus berusaha ekstra untuk memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Kalau tidak, ya sulit sekali untuk bisa mendapatkan penghargaan yang lebih.”
Saya sepakat. Apa yang kita dapat, memang akan selalu setimpal dengan apa yang telah kita kontribusikan. Setidaknya, demikian lah dalam hitung-hitungan manusia. Saya hanya bertanya-tanya, bagaimana sisi-sisi kehidupan lain kan terpenuhi kebutuhannya, jika setengah lebih hari dihabiskan untuk pengabdian pada perusahaan?
“Ya, memang demikianlah kondisinya. Kita kerja kan untuk keluarga juga,” adalah ungkapan yang biasa diucapkan oleh awam.
Ya, saya amat memahami niat baik ini. Hanya saya sering penasaran, bagaimana dengan kebutuhan lain, selain finansial, yang juga dibutuhkan oleh keluarga? Kebutuhan untuk mengobrol, bermain, bercengkerama, untuk sekedar menyebut beberapa.
Lalu 4 tahun yang lalu, saya mendapati saran untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah. Shalat dhuha, rawatib, tahajud, sedekah, adalah ibadah-ibadah rutin yang hampir tak pernah masuk dalam jadwal keseharian saya sebelum tahun itu. Perlahan, penuh pemaksaan pada diri, saya pun sedikit demi sedikit mampu menjadikannya sebuah rutinitas.
Awalnya saya sungguh tak begitu peduli pada imbalan materi yang dijanjikan sebab menjalankannya. Saya hanya mendambakan ketenangan batin yang lebih saja. Tapi apa yang saya dapatkan sungguh mengejutkan. Ketenangan batin, alhamdulillah, terasa semakin dalam. Dan kebutuhan material, pun perlahan mengikuti pula. Uniknya, saya mengalami apa yang dikatakan oleh pemilik usaha Ayam Bakar Mas Mono: rezeki diantar.
Ya, berkali-kali, saya mendapati beragam rezeki mengalir melalui beragam pintu, bahkan ketika saya tak pernah merasa memintanya. Sesuatu yang sebenarnya menghadirkan kecemasan lain dalam diri saya, bahwa ia hadir sebagai ujian, apakah kiranya saya mampu mensyukurinya.
Saya sungguh bukan seorang pekerja yang ngotot. Bahkan, saya bisa mengatakan bahwa saya cenderung pekerja yang teramat santai. Berkali-kali saya dimotivasi untuk bekerja lebih keras, sekeras teman-teman lain yang lebih dulu mendapatkan kepercayaan lebih tinggi, namun saya memilih untuk menikmati bagaimana saya menjalani pekerjaan saya. Namun menariknya, alhamdulillah, rezeki itu diantar sebegitu memadainya, semenjak saya mulai menjadikan beberapa ibadah sebagai agenda rutin.
Di titik inilah, saya pernah berdiskusi dengan seorang kawan. Satu kali, saya membahas bahwa jangan-jangan, kita sebenarnya tidak perlu bekerja sekeras itu. Apa sebab? Ya karena rezeki kita sejatinya pasti diantar. Lalu mengapa pula banyak orang mesti bekerja amat keras, bahkan hingga melalaikan kewajiban ibadah? Ya justru itu, kelalaian itulah yang membuat mereka harus bekerja keras.
Sebuah pelajaran berharga yang teramat saya ingat soal agama adalah: semua ada saatnya. Ajaran agama begitu komprehensif, meliputi setiap detil bidang kehidupan. Dalam setiap sudut kehidupan, selalu ada peluang menjadikannya ibadah. Ada kaidahnya, ada doanya. Niatkan dengan lurus, jalankan sesuai kaidah, berdoalah dengan sungguh-sungguh, Insya Allah jadi lah ia terhitung ibadah. Maka memang benar bahwa bekerja itu ibadah. Namun mengurusi keluarga, bercengkarama dengan sahabat, menyendiri di malam sunyi, menyehatkan tubuh, pun adalah ragam ibadah yang ada saatnya. Menjadi tak adil bagi hidup kita, jika hanya mengurusi satu bidang saja, sementara abai pada yang lain. Padahal pada tiap saat, terkandung kebutuhan yang kala dipenuhi akan menjadikan kehidupan ini utuh.
“Loh, kalau karyawan tidak bekerja keras dan total, bagaimana perusahaan mau maju di tengah kompetisi ketat seperti ini?”
Ah, ini pun pernah menjadi bahasan saya dengan beberapa kawan. Dan perenungan saya menghasilkan dua jawaban.
Pertama, siapa sih perusahaan itu? Bukankah tak lain ia adalah kumpulan insan? Dan bukankah tiap insan telah tersedia rezeki yang siap sedia untuk diantarnya? Maka perusahaan yang menghendaki karyawannya diantar rezekinya, sejatinya mesti getol mendorong mereka untuk menghubungkan diri selalu pada Tuhan. Repotnya, inilah justru titik lemah korporasi. Amat sedikit yang menyadari bahwa aspek spiritual adalah salah satu faktor penting kesuksesan, dan kebahagiaan.
Kedua, kemajuan seperti apa sih yang diinginkan oleh dunia korporasi saat ini? Sungguh saya memahami, bahwa bisa jadi, sebuah perusahaan tidak lah perlu terlalu besar. Apa pasal? Sebab banyak perusahaan sejatinya besar, sembari ia sengaja atau tidak melakukan 2 hal: mengambil peluang orang lain atau menggunakan cara-cara yang tidak halal. Bisa jadi, ada jalan bagi perusahaan baru lain untuk besar dalam industri ini, namun kita halang-halangi ia. Berapa banyak perusahaan yang membantu perusahaan lain untuk membesarkan dirinya? Tulus, tanpa pamrih. Amat jarang. “Loh, kan ini bisnis, bukan lembaga sosial,” jawab sebagian praktisi. Sepakat. Saya hanya penasaran, apakah memang lembaga bisnis, tak bisa pula berkembang dengan menjalankan misi sosial.
Kegelisahan saya soal poin nomor dua ini bukan tanpa alasan. Tengoklah iklan di televisi. Berapa banyak yang menggunakan bahasa jujur, jernih, tanpa informasi berlebih-lebihan. Saya agak kesulitan menemukannya. Yang amat mudah dicermati adalah iklan yang selalu mengandung unsur berlebihan, kalau tidak ingin disebut sebagai kebohongan. Lalu kita bertanya di mana kah letak keberkahan?
Sampai di sini, saya terkadang merenungi, bahwa selain tahu kapan untuk terus maju, kita pun perlu belajar untuk tahu kapan untuk berhenti dan berkata cukup. Sebab segala hal selalu memiliki batas kecukupan, yang jika dilewati akan sirnah lah keberkahan. Kita harus bekerja, lalu mengatakan cukup sebab saatnya untuk bersujud, atau bertemu keluarga, atau menyehatkan tubuh. Kita harus membuat perusahaan bertumbuh, lalu berhenti sejenak, untuk membantu perusahaan lain juga turut bertumbuh.
Pada kata cukup inilah kita perlu merenung dalam-dalam. Sebab bisa jadi, kita tak perlu bekerja sekeras itu.