“Saat kami bertanya pada 90 orang pemimpin yang kami wawancarai tentang kualitas personal yang mereka perlukan untuk menggerakkan organisasi, mereka tak pernah menyebut soal karisma, penampilan, manajemen waktu, atau hal-hal populer lain. Sebaliknya, mereka bicara soal keteguhan dan pemahaman diri, tentang kemauan untuk mengambil risiko dan menerima kesalahan, tentang komitmen, konsistensi dan tantangan. Dan di atas itu semua, mereka bicara soal pembelajaran,” ulas Bennis dan Nanus membuka bab tentang strategi keempat.
Ya, para pemimpin adalah para pembelajar. Namun jangan salah sangka bahwa pembelajaran yang dimaksud hanyalah soal bersekolah. Ada yang memang senang bersekolah hingga melanjutkan hingga strata pendidikan tertinggi, ada juga yang tidak. Namun baik yang berorientasi sekolah formal ataupun tidak, keduanya memiliki kesamaan dalam hal pembelajaran: mereka adalah pembelajar seumur hidup.
“Belajar adalah bahan bakar utama seorang pemimpin,” tulis Bennis dan Nanus, “sumber energi beroktan tinggi yang mempertahankan momentum untuk terus mendapatkan pemahaman baru, ide baru, dan tantangan baru.” Seolah tak puas dengan penjelasan ini, keduanya memberi penekanan lagi, “Mudahnya, mereka yang tak senang belajar tak akan bertahan lama sebagai pemimpin.”
Sebuah tanya mungkin terbersit dalam benak kita, “Bukankah kita selalu belajar setiap saat, disadari atau tidak? Lalu apa yang berbeda dari apa yang dilakukan oleh para pemimpin?”
Ya, ini adalah pertanyaan menarik. Dan jawabannya pun tak kalah menarik. Para pemimpin tak sekedar belajar untuk pertumbuhan diri mereka sendiri. Mereka adalah pembelajar organisasi yang amat ahli. Mereka mampu menggairahkan organisasi untuk terus belajar dan bertumbuh bersama. Mereka mampu mengarahkan organisasi untuk fokus pada hal-hal yang paling penting dan menggunakan organisasi sebagai lingkungan belajar. Beberapa cirinya adalah sebagai berikut:
- Menghargai dan menikmati ketidakpastian.
- Menyelami kesalahan.
- Merespon masa depan.
- Cakap secara interpersonal (mendengar, mendidik, mengatasi perbedaan nilai)
- Sungguh-sungguh untuk terus menambah pengetahuan.
“Keseluruhan perilaku ini selalu muncul dalam diskusi kami,” tegas Bennis dan Nanus. Para pemimpin secara konsisten memaklumi adanya ketidakpastian sebagai ruang pembelajaran. Mereka menjadikan kesalahan sebagai pengalaman belajar, mereka terlibat penuh dalam penyusunan target demi terus memeriksa pemahaman terhadap asumsi yang dimiliki, mereka gunakan keterampilan interpersonal mereka untuk mendorong setiap orang menemukan ide-ide baru, mereka tak henti meningkatkan pemahaman terhadap keterbatasan yang mereka miliki dengan konsisten menguji pandangan mereka serta membandingkannya dengan kolega di luar organisasi juga para ahli.
Maka para pemimpin memang pembelajar sejati. Mereka teramat ahli dalam hal ini. Namun tak hanya itu, mereka mampu memainkan peran untuk mengorganisasi pembelajaran dalam organisasi.
Organisasi Pembelajar
Pembelajaran organisasi adalah proses sebuah organisasi untuk menjaring dan menggunakan pengetahuan,keterampilan,perilaku, dan tata nilai baru. Ini berlangsung di seluruh sudut organisasi—individual, kelompok, dan sistem secara keseluruhan. Indidu menjalankan pembelajaran sebagai bagian dari penyelesaian tugas mereka. Kelompok belajar melalui kerjasama yang terjadi antar anggota tim dalam mencapai tujuan. Sedangkan sistem belajar setiap kali ia menerima umpan balik dari lingkungan tempat mereka berada dan mengantisipasi perubahan di masa depan. Secara umum, organisasi pembelajar segera menerjemahkan setiap pengetahuan baru ke dalam target, prosedur, struktur, dan berbagai ukuran-ukuran kesuksesan lain.
Bennis dan Nanus menjelaskan bahwa pembelajaran dalam organisasi setidaknya dapat dibedakan menjadi 2: maintenance learning dan innovative learning.
“Maintenance learning adalah proses mendapatkan sebuah kepastian akan prediksi kondisi masa depan, metode, dan perangkat aturan yang diperlukan untuk mengatasi situasi yang telah sering dialami. Ia dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan kita dalam menyelesaikan beragam permasalahan yang umum terjadi. Ini adalah jenis pembelajaran yang sengaja dirancang untuk menjaga sistem yang telah berjalan. Ia teramat penting untuk menjaga fungsi organisasi. Namun agar organisasi dapat bertahan dalam jangka panjang, utamanya di masa-masa sulit, penuh perubahan, jenis pembelajaran lain lah yang diperlukan. Sebuah pembelajaran yang mampu menghadirkan perubahan, pembaharuan, restrukturisasi, dan pemahaman baru terhadap masalah—yang disebut innovative learning.”
Organisasi masa kini, tersebab menerapkan manajemen modern, umumnya tak kesulitan menjalankan maintenance learning. Ia memadai, namun tak lagi cukup. Apa pasal? Dalam maintenance learning, pencapaian saat ini hanya dibandingkan dengan masa lalu, belum dengan apa yang mungkin terjadi di masa depan. Tindakan perbaikan hanya dilakukan untuk mengatasi kekurangan dan kegagalan, bukan untuk membangun kekuatan dan mengembangkan kesempatan baru.
Innovative learning merupakan sesuatu yang menantang sebab ia memersiapkan organisasi untuk menjalankan inisiatif dalam situasi yang belum terjadi, yang acapkali belum tampak tanda-tandanya. Ia mencermati isu yang baru mencuat, sehingga belum menyediakan ruang untuk trial and error, yang solusinya pasti belum tampak. Oleh sebab itulah pembelajaran jenis ini masih sering diabaikan, sehingga berujung pada tidak adaptifnya organisasi merespon perubahan kala ia benar-benar terjadi.
Innovative Learning
Setidaknya ada 6 pola pembelajaran inovatif yang dapat ditempuh oleh organisasi.
- Reinterpretasi terhadap sejarah. Setiap organisasi memiliki kisah sukses. Dan setiap kesuksesan pasti memiliki pola. Pola ini lah yang kemudian berusaha diterjemahkan ulang dalam konteks kekinian. Jika dulu yang dimaksud dengan pelayanan adalah pertemuan langsung, maka bagaimana kini ia diejawantahkan dalam era teknologi yang pertemuan banyak dilakukan di dunia maya?
- Eksperimentasi. Organisasi dapat menguji hipotesa mereka dengan membangun sebuah eksperimen terkontrol, semisal membentuk pilot project untuk melakukan implementasi ide dalam skala kecil.
- Meneliti organisasi yang mirip. Tak mesti sama, bisa jadi dalam industri yang berbeda. Diskusi lintas industri adalah salah satu cara yang bisa dilakukan. Saya mendapati bahwa pengalaman di korporasi kiranya teramat berguna untuk meningkatkan efektivitas organisasi pendidikan yang saya fasilitasi proses transformasinya.
- Proses analitis. Banyak organisasi secara sengaja menggerakkan proses menganalisa tren yang terjadi di luaran, mengenali isu yang muncul, dan mendesain cara-cara baru untuk merespon. Alfred J. Sloan, sebagaimana dikutip oleh Bennis dan Nanus, mengatakan, “Keputusan akhir dalam bisnis memang acakali intuitif. Namun ia selalu bermula dari kerja besar dalam menemukan dan menganalisa fakta dan lingkungan, teknologi, pasar, dll.”
- Pelatihan dan pendidikan. Adalah umum bagi organisasi untuk begitu serius menggarap proses pelatihan. Maka tak heran jika pelatihan merupakan industri yang amat menjanjikan di negara-negara maju dan berkembang (seperti Indonesia). Amat jarang memang organisasi yang mampu mengukur secara pasti dampak pelatihan terhadap kesuksesan mereka (saya pun kesulitan menemukannya). Namun tak satu pun organisasi besar yang tak mengatakan bahwa program pelatihan dan pengembangan yang secara serius dijalankan merupakan kunci dari pencapaian mereka.
- Unlearning. Ketika apa yang diketahui oleh organisasi benar-benar sudah tak lagi relevan dengan situasi dan kondisi, maka melupakannya adalah sebuah kewajiban. Di masa kini, ketika perubahan cepat dan inovasi begitu dibutuhkan, maka gaya kepemimpinan yang kaku nan hirarkis merupakan sesuatu yang harus dihilangkan dalam organisasi. Begitu pula kebijakan terkait teknologi. Pernah ada masanya ketika media sosial seperti Facebook dan Twitter merupakan sesuatu yang dilarang untuk digunakan selama jam kerja. Namun beberapa tahun belakangan justru perusahaan yang kekuatan bisnisnya terletak pada komunitas kini justru mempersilakan karyawannya menggunakan selama jam kerja—dengan aturan tertentu.
Para pemimpin adalah para pembelajar. Ini mutlak. James McGregor Burns, sebagaimana dikutip Bennis dan Nanus, bahkan mengatakan, “Para pemimpin potensial telah melampaui apa yang dikatakan oleh Maslow sebagai self actualizers. Mereka memiliki kapasitas yang teramat besar untuk belajar dari orang lain dan lingkungannya—kapasitas untuk diajari.” Seberapa antusias para pemimpin dalam pembelajaran diri, sebesar itu pula lah antusiasme timnya dalam organisasi.