“Pemimpin yang baik,” demikian sebuah nasihat, “mampu menghadirkan kepercayaan dari pengikut kepada dirinya. Sedang pemimpin yang hebat, mampu menghadirkan kepercayaan dari pengikut kepada diri mereka sendiri.”
Tertegun saya membaca nasihat ini. Sebab apa yang selama ini saya pikirkan tentang menjadi pemimpin adalah jenis pemimpin yang baik saja. Ya, baik, tidak buruk. Namun juga belum hebat. Good enough, but not yet great. Kiranya persis seperti uraian Jim Collins dalam karya fenomenalnya, Good to Great, tentang kepemimpinan level 5. Yakni pemimpin yang berorientasi pada pertumbuhan timnya, sehingga mereka mampu bergerak mencapai tujuan meski ia tak hadir di sana. Pemimpin jenis ini, biasanya tak terkenal. Kalaupun terkenal,itu bukanlah keinginannya. Sebaliknya, pemimpin yang belum mencapai level ini, masih sering gandrung pada popularitas.
Strategi kepemimpinan ketiga yang diuraikan Bennis dan Nanus dalam Leaders adalah membangun kepercayaan. “Kepercayaan,” urai kedua pakar ini, “adalah perekat emosional yang menyatukan pemimpin dan pengikut. Legitimasi kepemimpinan sejatinya adalah akumulasi kepercayaan. Ia tak bisa dibeli, hanya bisa diterima.”
Kepercayaan adalah esensi dasar dalam organisasi. Jelas saja. Tanpa rasa percaya, untuk apa bergabung dalam organisasi? Ia sungguh misterius, abstrak, tak tampak, namun kita dengan amat jelas bisa merasakan keberadaannya.
“Cara paling mudah untuk mengenali hadirnya kepercayaan,” lanjut keduanya, “adalah dengan menandai ada atau tidaknya harapan.” Ya, kepercayaan hadir sebab berulangnya lelaku para pemimpin di hadapan pengikutnya. Sebab berulang itulah lahir harapan.
Melanjutkan strategi sebelumnya, seorang pemimpin dipercaya sebab visi yang ia dukung. Sedemikian jelas, menarik, dan menggairahkannya visi ini, hingga setiap orang merasa memilikinya. Tentu tak berhenti sampai di situ, ia pun mesti memastikan posisi tempat ia berdiri, mengokohkan keyakinan seluruh tim bahwa ia memang sungguh-sungguh dengan apa yang ia impikan. Kesungguhan inilah kemudian yang akan membawa organisasi pada posisi yang jelas pula dalam masyarakat. Leadership Brand, kerennya. Dalam bahasa yang lebih praktis, ini adalah strategi eksekusi. Mengerahkan segenap daya dan upaya untuk memastikan sebuah visi terwujud dalam aksi nyata.
Setidaknya ada 4 jenis strategi yang acapkali digunakan para pemimpin dalam memosisikan organisasinya.
Pertama, reaktif. Organisasi menunggu perubahan yang terjadi, baru kemudian bereaksi merespon perubahan tersebut. Menunggu tak selalu buruk. Bisa jadi ia memang menghendaki bermunculannya lebih banyak pilihan seiring waktu. Respon seperti ini paling ‘murah’, alias tak perlu terlalu banyak usaha keras. Namun ia hanya bisa berjalan dalam kondisi perubahan yang lamban. Jika kondisi perubahan sedemikian cepat, maka reaktif hanya akan menghadirkan persepsi dalam benak tim bahwa sang pemimpin tak sungguh-sungguh dengan visi yang ia dengung-dengungkan.
Kedua, ubah lingkungan internal. Alih-alih menunggu perubahan yang terjadi pada lingkungan, menggunakan strategi ini, pemimpin mengembangkan sebuah skema perubahan dengan memproyeksikan kondisi di masa depan, untuk kemudian segera melakukan perubahan internal. Mereka antisipatif dan proaktif terhadap kemungkinan terjadinya perubahan. Saya mencermati berbagai inisiatif di XL belakangan menggambarkan dengan baik strategi ini. Menyadari bahwa bisnis telekomunikasi semakin meninggalkan telepon dan sms, mereka secara cepat menggerakkan organisasi untuk mengejar keunggulan dalam ranah digital.
Ketiga, ubah lingkungan eksternal. Ada kalanya perubahan diri tak cukup, sebab beragam situasi, aturan, kebijakan terlalu menghambat. Maka organisasi-organisasi yang bernaung di dalam sebuah komunitas biasanya mulai menstimulasi pergerakan agar terjadi perubahan pada kebijakan yang berlaku. Semisal, gabungan serikat pekerja yang melobi pemerintah untuk menaikkan upah minimum. Berubahnya kebijakan, kemudian, akan menjadikan banyak organisasi leluasa untuk melakukan perubahan internal.
Keempat, ubah lingkungan internal dan eksternal. Menggunakan jenis ini, para pemimpin menggerakkan perubahan secara simultan. Mereka melakukan lobi keluar, dan pada saat yang sama juga menggerakkan perubahan di dalam.
“Para pemimpin,” tutup Bennis dan Nanus dalam bab ini, “menyemai nuansa kepemimpinan mereka dengan memilih secara cermat orang-orang yang ada di sekeliling mereka,mengkomunikasikan tujuan organisasi terus-menerus, memberikan penguatan pada perilaku yang diinginkan, dan menggemakan nuansa ini baik ke dalam maupun ke luar organisasi.”
Kepercayaan, memang hanya bisa dibangun lewat tindakan nyata, menyelaraskan visi dengan aksi.