“Keinginanmu untuk pasrah sebelum menyempurnakan usaha bisa jadi merupakan kekufuran yang samar. Sementara keteguhanmu untuk berusaha tanpa mengindahkan kepasrahan bisa jadi merupakan kesombongan terselubung. Keindahan hidup terjadi ketika keduanya berjalan dengan harmonis.”
Di atas adalah terjemahan bebas dari salah satu hikmah yang diuraikan Syaikh Ibnu Athaillah dalam kitab beliau, Al Hikam. Kitab yang tampak tipis ini kiranya memang mengandung untaian hikmah yang demikian ‘berat’ tuk dipahami, apalagi diamalkan. Namun ia seolah mengatakan bahwa perjalanan masih jauh, hingga masih terlalu dini untuk berhenti.
Keinginanmu untuk pasrah sebelum menyempurnakan usaha bisa jadi merupakan kekufuran yang samar.
Ya, diri ini sering tergoda untuk pasrah. Bukan dalam arti tawakal, melainkan benar-benar berhenti berusaha, sedang nyawa masih dikandung badan. Tawakal, berbeda dengan pengertian pasrah yang umumnya dipahami, sejatinya dalah perbuatan hati, bukan perbuatan tangan. Orang yang bertawakal, terus menyungguhi usaha dengan tangan, dan pada saat yang sama hatinya meyakini bahwa tiada keberhasilan melainkan atas izin dan kuasaNya. Bahwa Dia lebih tahu mana yang lebih baik. Usahanya bukanlah semata jalan bagi keberhasilan, melainkan serupa persembahan sebab syukur atas karunia nikmat kehidupan yang terus dicurahkan.
Maka semata pasrah, tak sempurnakan usaha, bisa jadi merupakan sebuah kekufuran yang samar. Sebab sungguh Dia tak pernah henti berikan potensi, dan tak berusaha berarti menyia-nyiakan potensi itu. Senada dengan sebuah nasihat, “Jika doamu terucap kala nyawa masih dikandung badan, maka Dia sejatinya sedang mengabulkan doamu.” Ya, pengabulan doa, bisa jadi telah terjadi, dengan tak hentinya Dia berikan kemampuan usaha pada diri. Sebab Dia inginkan tiap hasil bermakna, maka tak serta merta Dia hadirkan keberhasilan, melainkan melalui jalan usaha kita dulu.
Sementara keteguhanmu untuk berusaha tanpa mengindahkan kepasrahan bisa jadi merupakan kesombongan terselubung.
Namun berhati-hatilah, wahai diri, untuk tak semata menggantungkan keberhasilan hanya pada usahamu, tanpa kepasrahan—dalam makna tawakal. Sibuk saja bekerja, namun luput mengagungkan namaNya. Padahal darimana datangnya kemampuan berusaha, jika bukan semata karuniaNya? Maka berusaha saja, lalu lalai memasrahkan hasil kepadaNya, bisa jadi menandakan adanya bibit kesombongan dalam dirimu. Bahwa kau pikir segalanya ada dalam usahamu. Bahwa atas usahamu saja lah hasil kau peroleh.
Duhai, jika ini yang kau alami, wahai diri, tak layak bagimu tuk tak bersujud. Menyungkurkan dirimu sebab kesombonganmu.
Keindahan hidup terjadi ketika keduanya berjalan dengan harmonis.
Ya, ikhtiar dan tawakal bukanlah dua hal yang terpisah, melainkan beriringan. Kita memerlukan usaha, sebab tanpa usaha, maka hasil kan hadir tanpa makna. Sebab berpeluh diri lah, maka setiap hasil kan terasa nikmat. Namun kita sadari persis, bahwa Dia lebih tahu, Dia Maha Berkehendak. Sebagai ciptaan yang lemah, maka menyerahkan hasil terbaik padaNya adalah sebuah perbuatan yang paling rasional. Maka damailah, indahlah diri ini, sebab serasinya ikhtiar dan tawakal. Tangan tak henti bekerja, hati tak henti bersyukur, apapun hasil yang diperoleh kini.
“Bukankah ini kan jadikan usaha tak maksimal? Sebab diri berhenti dan merasa puas?”
Justru sebaliknya. Diri yang tawakal, menerima dengan ikhlas setiap hasil, maka tentramlah jiwanya. Namun ia pun yakin, bahwa masih dikandungnya nyawa adalah pertanda bahwa tangan tak boleh menghentikan usahanya. Maka berusaha lah ia sekuat tenaga, demi persembahan kepadaNya.