Menelusuri Leaders, karya fenomenal Warren Bennis dan Burt Nanus, paham lah kita bahwa betapa banyak pemahaman kepemimpinan yang beredar sejatinya hanyalah mitos belaka. Dan menariknya mitos adalah ia begitu melekat, hingga diyakini tanpa sadar, tanpa dipertanyakan lagi. Apa dampaknya? Tentu pada usaha kita untuk menghadirkan para pemimpin. Sebab kepemimpinan dibalut dengan sesuatu yang seolah di luar kendali kita, maka lemah lah usaha kita untuk secara sungguh-sungguh mengembangkannya.
Apa saja kah mitos-mitos kepemimpinan yang beredar itu?
Kepemimpinan adalah keterampilan yang langka. Ya, para pemimpin besar memang langka. Selangka para seniman, atlit, pebisnis, ilmuwan besar. Tapi coba lihat di sudut-sudut kehidupan kita, siapakah mereka yang menjadi penggerak, jika bukan pemimpin? Sungguh tak banyak saya dapati para guru yang meyakini—meyakini, tak sekedar menyepakati—bahwa diri mereka adalah pemimpin. Dan sebab itu, tak sadar pula bahwa tugas sejati mereka adalah menumbuhkan kepemimpinan. Apatah lagi bersungguh-sungguh mendidik—tak sekeadar mengajar—kepemimpinan. Cermati bagaimana kehidupan bertetangga bisa berjalan harmonis. Sering tak kita sadari bahwa ada saja orang-orang yang senang mengurus lingkungannya, dengan menjadi ketua RT, RW, dsb. Siapa mereka jika bukan pemimpin? Maka kepemimpinan adalah keterampilan yang diperlukan—dan bisa dikuasai—oleh semua orang. Jika pun seseorang bukanlah pimpinan perusahaan atau organisasi besar, hampir pasti ia adalah pemimpin dalam keluarganya.
Pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan.Tak salah memang jika mitos ini berkembang. Sebab jika kita baca kisah hidup para pemimpin besar, banyak yang belum membahas proses terbentuknya keterampilan memimpin mereka. Seolah-olah keahlian itu datang dari langit, tanpa melalui sebuah proses panjang, kerja keras penuh kesungguhan. Kenyataan bahwa para pemimpin adalah pembelajar sejati, menunjukkan bahwa setiap orang bisa—dan wajib—menjadi pemimpin.
Pemimpin itu haruslah karismatik. Sebagaimana telah saya bahas sebelumnya, mengutip riset Jim Collins dalam Good to Great, bahwa pemimpin transformasional adalah mereka yang acapkali tak karismatik. Beberapa memang selebritis, tapi sebagian besar justru tidak. Persis seperti yang telah kita bahas, pemimpin diikuti sebab visi yang menginspirasi, dan eksekusi yang mumpuni. Benar bahwa mereka adalah handal soal orang. Tapi ini tak berarti karismatik.
Kepemimpinan terletak hanya pada puncak organisasi. Secara jujur, Bennis dan Nanus mengakui bahwa mungkin saja mereka telah menyumbang pada berkembangnya mitos ini dengan berfokus hanya meneliti dan membahas 90 pimpinan puncak organisasi. Namun fakta lapangan justru mengatakan sebaliknya. Semakin besar organisasi, semakin banyak dibutuhkan para pemimpin handal. Lagipula, darimana datangnya para pemimpin puncak jika bukan sebab terbukti handal mengelola tim yang lebih kecil? Saya teringat sebuah pelajaran yang saya dapatkan dari seorang guru, bahwa cara mudah mengenali sudah terjadinya kepemimpinan adalah dengan bertanya pada para pimpinan, siapa saja kah calon pengganti yang telah siap menggantikan mereka? Jika terjawab dengan mudah dan penuh keyakinan, maka kepemimpinan telah terjadi. Jika belum, maka sang pemimpin sejatinya masih menjalankan one man show.
Para pemimpin haruslan mengontrol, memerintah, mengendalikan. Ini mungkin mitos paling berbahaya bagi organisasi. Kepemimpinan bukanlah praktik kekuasaan. Bahkan praktik kepemimpinan sejati adalah kala tak memiliki posisi. Sebab justru ketika memiliki posisi, maka seseorang mungkin terdorong untuk menggunakan semata otoritas, alih-alih keterampilan untuk menginspirasi tim untuk bergerak dari dalam. Para pemimpin yang efektif adalah mereka yang mampu mewujudkan impian menjadi kenyataan dengan menyelaraskan energi tiap orang dalam organisasi untuk bergerak bersama mencapai tujuan. Mengutip Stephen R. Covey, “Kepemimpinan adalah mengkomunikasikan potensi dan nilai diri seseorang, sedemikian jelas sehingga ia mampu melihat potensi itu dalam dirinya sendiri.” Ya, para pemimpin sejatinya menggerakkan organisasi dengan ‘menarik’ alih-alih ‘mendorong’, dengan menginspirasi alih-alih memerintah, dengan menciptakan sebuah tujuan yang mungkin dicapai—dan cukup menantang—serta menghargai kemajuan alih-alih melakukan manipulasi.
Satu-satunya tugas pemimpin adalah menghasilkan keuntungan. Banyak pimpinan perusahaan mungkin akan mengamini mitos ini. Namun tanpa disadari, mereka yang hanya fokus pada hal ini sejatinya sedang mengkerdilkan peran mereka sendiri. Perhatian yang semata pada keuntungan biasanya akan menghasilkan keputusan yang berorientasi jangka pendek, dan pada saat yang sama mengorbankan tujuan jangka panjang organisasi. Cermati perusahaan yang melakukan pengurangan karyawan, semata agar bisa mengurangi biaya gaji sehingga tampaklah peningkatan keuntungan. Namun segeralah diketahui bahwa efek jangka panjang dari menurunnya semangat kerja, sungguh sulit terobati. “Istilah yang lebih memuaskan,” tegas Bennis dan Nanus, “tanggung jawab utama para pemimpin adalah menjadi pelayan yang dapat dipercaya dan perancang masa depan organisasi, membangun fondasi yang kokoh untuk kesuksesan yang berkelanjutan.”
Demikianlah apa yang bisa saya ulas dari Leaders: Strategies for Taking Charge. Insya Allah saya akan melanjutkannya dengan membahas buku lanjutan, juga karya Bennis, On Becoming a Leader. Jika Leaders banyak menjelaskan tentang apa yang dilakukan para pemimpin ketika mereka telah sampai di puncak, maka On Becoming a Leader mengurai bagaimana proses mereka sampai pada puncak kepemimpinan. Insya Allah.