“Pandangan orang takkan meninggi atau merendahkanmu. Responmu terhadap pandangan itu lah yang kan meninggi atau merendahkanmu.”
Adalah firmanNya, bahwa diri ini diciptakan dalam sebaik-baik bentuk. Maka adanya diri, seperti apapun pandangan tentangnya, sejatinya mengandung sejumlah kesempurnaan. Ia tanpa cela. Sebab kekurangan yang ada, sebenarnya adalah ruang yang diadakan untuk bekerja bersama orang lain.
Lalu apa pasal yang menyebabkan ada insan yang tak lahirkan keparipurnaan karya?
Ya, tak lain sebab caranya memandang kesempurnaan di dalam diri. Sungguh mudah kita dapati insan yang mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain tentang apa yang ada padanya. Padahal perkataan orang lain, sebenarnya netral belaka, seperti apapun diucapkan. Ia menjadi sindiran, ejekan, atau masukan, dan pujian, adalah keputusan kita belaka.
Maka memang bukan pandangan orang lain, tentang rendah atau tingginya dirimu, yang kan menjadikanmu demikian, wahai diri. Melainkan bagaimana kau mengolahnya hingga melahirkan respon lah yang menentukan seperti apa dirimu.
“Kau tak berpengalaman,” demikian kau dengar. Kala kau respon kalimat ini dengan murung berhari-hari yang berujung dendam, maka seketika itu hidupmu terhenti. Namun ketika kau respon ia dengan kesungguhan mendulang pengalaman dengan senyuman, menjelma lah dirimu pribadi unggul nan diakui.
“Bicaramu tak jelas,” lain lagi kau terima. Kau bisa memilih tuk sakit hati dan menangis sejadi-jadi. Namun kau pun bisa memilih bertanya, “Sudikah kiranya kau jelaskan serupa apa bicara nan jelas itu?” Apatah lagi kemudian kau pecut dirimu tuk berlatih hingga terbangunlah keahlian.
“Tapi pandangan itu menyakitkan,” katamu.
Ya, memang kerapkali demikian adanya. Namun rasa sakit itu mungkin kan jadi kisah kerinduan kala kehidupan telah membawamu pada jalan-jalan yang tinggi, penuh makna. Harga dirimu, bukanlah ditentukan oleh apa yang terjadi padamu. Harga dirimu, ditentukan oleh apa yang kau lakukan terhadap kejadian itu.