“Tak semua yang bisa diingat, perlu dirasa. Tak semua yang bisa dirasa, perlu diingat.”
Manusia adalah makhluk makna. Ia bergerak dan diam, berlari dan berjalan, menangis dan tertawa, bersegera dan bermalas, sebab makna yang hadir tak saja dalam pikirannya, namun merasuk ke seluruh tubuh dan jiwanya. Pertanyaan, “Apa arti makanan?”, sungguh kan hadirkan beragam makna, yang pada setiapnya melahirkan beragam langkah. Para penikmat makna bahwa makanan adalah kesehatan, akan memilih makanan sehat, serta makan dengan waktu, porsi, dan cara yang sehat. Lagi lagi bagi mereka yang berkata bahwa makanan adalah kenikmatan. Padanya yang penting adalah rasa nikmat, hingga kesehatan kandungannya tak terlalu dipedulikan.
Makna, adalah perjalinan yang kuat antara gerak pikir dan gerak rasa. Gerak? Ya, sebab makna bukanlah sesuatu yang statis. Ia bergerak, berubah, mengalir, mengiringi pengalaman hidup yang terus berlangsung. Sepanjang itu hidup, sepanjang itu pula makna terus terbentuk, terkayakan, terkokohkan. Maka mengelola makna, berarti mengelola apa yang diingat dan dirasa. Pada pertemuan keduanya lah makna terjalin.
Tak semua yang bisa diingat, perlu dirasa.
Sebab yang diingat tak selalu tepat, tak selalu baik, tak selalu bermanfaat. Maka pilah pilih lah ingatan ini, dan tentukan mana yang ingin kita warnai dengan rasa, hingga hadirkan makna. Sisanya? Biarkan ia jadi ingatan, serupa kejadian semata. Tak perlu diberi rasa hingga melekat dan kita bawa kemana-mana.
Tak semua yang bisa dirasa, perlu diingat.
Begitu pun sebaliknya. Ada hal yang dirasa, dan sedemikian ia menjadikan kita terpaku, tak sanggup bergerak, atau bergerak pada arah yang salah. Telisik lah ingatan yang menyatu bersamanya, lalu lepaskan. Kala rasa berpisah dari ingatan, luruh lah maknanya seketika. Ia tak lagi kita sebut bermakna.
Telitilah dengan makna yang kau pegang, wahai diri. Ia kini berarti, esok bisa jadi tidak lagi. Pilihlah makna yang memberimu kelurusan langkah, keteguhan jiwa, kejernihan hati, hingga hanya pada jalanNya lah kau berada.