“Berilah seseorang kail, saat ia sudah tahu apa itu ikan.”
Berilah seseorang ikan, kita memberinya makan sehari. Berilah seseorang kail, kita memberinya makan sepanjang kail itu bisa digunakan.
Demikian biasa kita dengar nasihat tentang bagaimana membantu orang lain. Jangan hanya berpikir mudah dengan segera mencukupi kebutuhan seseorang, tapi pikirkanlah bagaimana ia akan hidup tanpa bantuan kita. Sungguh nasihat ini amat baik, hanya kadang kurang tepat pula dipahami.
Ya, bagaimana seseorang kan mampu menggunakan kail, jika ikan saja ia tak tahu? Bagaimana seseorang kan bisa memakai cara, sedang untuk apa cara itu dipakai ia belum kenal?
Maka nasihat bijak tadi, perlu kita pahami bukan semata sebab kalimatnya. Melainkan apa yang tertanam di dalamnya. Bahwa membantu seseorang, bukanlah menjadikannya tergantung pada kita. Membantu seseorang, adalah memfasilitasi kemungkinannya tuk membantu dirinya sendiri. Dan ini terjadi kala kita pahami kebutuhannya. Sebab seseorang yang memiliki kail, meski ia tahu apa itu ikan, mungkin tak menggunakannya sebab ia tak makan ikan karena alergi.
Sisi lain, membantu seseorang kerapkali menghendaki kesabaran kita tuk berada dalam tahapan. Perubahan kebiasaan memerlukan proses. Apa yang bagi kita mudah—sebab telah bertahun-tahun melakukannya—bisa jadi teramat sulit baginya. Karena niat kita membantunya, maka sungguh penting untuk membantu dengan kesabaran, ketekunan, dalam tahapan. Beri tahu apa itu ikan, apa manfaatnya, apa enaknya, bagaimana tabiatnya, lalu bagaimana cara menangkapnya dengan kail.
Tak punya waktu melakukan itu semua?
Tak apa. Lakukan saja yang kita bisa. Pada tahapan yang seharusnya. Yakni, jika tidak melangkah pada tahap selanjutnya, kala tahap sebelumnya belum dipenuhi. Sebab memberikan ilmu pada orang yang belum siap, hanya akan membebani dirinya alih-alih membantunya. Ilmu menghadirkan manfaat bagi diri yang siap menerimanya.