“Ujian, adalah jalan tuk pahami sudah sedalam apa pembelajaran.”
Mengingat masa sekolah dulu, untuk apa kita melalui sebuah ujian? Banyak ragam jawaban, salah satunya adalah agar bisa lulus. Padahal, lulus adalah hasil. Pertanyaan pentingnya adalah: mengapa untuk menentukan siapa nan hendak diluluskan, guru perlu menguji murid-muridnya?
Ya, jawabannya terletak pada makna lulus itu sendiri. Lulus, sejatinya adalah sebuah keadaan kala seorang murid dianggap telah memadai dalam menangkap pembelajaran yang diberikan sang guru. Bukan sebab ia berhak berhenti belajar, namun karena ia telah mencapai sebuah titik yang cukup untuk kemudian melanjutkan pembelajaran pada jenjang berikutnya.
Maka ujian, diberikan oleh seorang guru dengan tujuan tuk mengetahui mana murid yang telah mencapai titik pemahaman itu, dan mana yang belum. Yang sudah, kan dianggap lulus, hingga bisa meneruskan perjalanan. Yang belum, kan diajari kembali hingga ia akhirnya pun mencapai titik pemahaman yang sama.
Demikian ujian di zaman sekolah dulu, demikian pula lah ujian di sekolah kehidupan. Tiada satu detik pun kan kita lalui, melainkan adalah rangkaian pembelajaran. Tiap saat kita dihadapkan pada persimpangan. Jika kita telah mengerti jalan, mudah menentukan mana simpang nan kan dilewati. Maka permasalahan yang muncul adalah tanda bahwa ilmu ini masih kurang. Kita belum cukup menangkap pesan-pesan yang ditebarkan oleh Sang Maha Berilmu lewat serakan pengalaman. Titik inilah yang acapkali dikatakan oleh insan sebagai ujian. Sebuah titik yang menjadi penanda kedalaman pembelajaran diri.
Maka bergembiralah, wahai diri, kala ujian menerpa. Gembira sebab telah hadir kesempatan padamu tuk takzim belajar kembali, menyelami samudera ilmu, memetik rangkaian hikmah. Benar nan wajar kala hadir sedih, namun jangan sampai kedua jenis rasa itu menghalangi ilmu yang menunggu di depan mata. Dalam ujian, bergembiralah bahwa pintu-pintu pengetahuan sedang dibukakan. Sebab dalam pertanyaan, tersimpan jawaban.