“Membaca dan memilah. Itulah guna mata dengan kelopaknya. Sebab tak semua yang tampak sedemikian adanya.”
Seeing is believing. Demikian ujar sebuah nasihat. Bahwa kita yakin, tersebab kita melihatnya sendiri. Jadilah banyak insan gemar mencari bukti sebelum meyakini. Hingga sulit meyakini, kala tak tersaji apa yang tampak.
Ada kalanya aku setuju dengan ini. Namun ada kalanya aku pun setuju dengan yang sebaliknya.
Believing is seeing. Bahwa kita cenderung melihat apa nan kita yakini ada. Atau lebih tepatnya, kita mencari-cari apa yang menurut kita ada. Bahkan, meskipun ia tak ada, kita buat jadi ada. Inilah kekuatan imajinasi. Dan hanya manusia yang memilikinya. Darinya lah hadir pencapaian-pencapaian yang tak terbayangkan sebelumnya.
Pada keduanya ada kebenaran, dalam ruang dan waktu masing-masing. Bukan tuk dipertentangkan, melainkan dipergunakan dalam kadarnya yang hadirkan manfaat. Sebab mata, yang menjadi acuan dalam melihat, memang diberi kelopak tuk menjalankan dua fungsi: membuka dan menutup. Ada guna mata kala ia terbuka dan mampu melihat. Namun ada juga guna mata kala ia tertutup dan tak melihat.
“Guna mata kala melihat, aku tahu. Tapi apa guna mata kala tertutup?” mungkin tanyamu.
Adalah tabiat kehidupan kadang menampakkan apa nan bukan kesejatian. Keterbatasan mata adalah kemudahannya tuk terpukau pada apa yang tampak indah, meski hakikatnya tak demikian. Untuk memahami kesejatian, mata perlu terpejam, dan merasakan, adakah apa nan ia lihat adalah kebenaran. Sebab jangan-jangan, diri melihatnya semata karena meyakininya.
Pemahaman. Ya, pemahaman, ia terletak di hati. Untuk memahami kesejatian, apa yang tersampaikan melalui mata perlu diteruskan ke hati. Dan demi menjalankan proses ini, mata mesti terpejam, agar murni tak tercampuri. Kala terlatih, mata kan tahu sendiri, kapan ia mesti membaca keseluruhan, dan kapan ia mesti memilah yang tak diperlukan.