“Tiadalah sesuatu yang sederhana, melainkan telah mengalami rangkaian kerumitan.”
Sungguh mudah kini kita berkendara. Masuk kendaraan, pasang kunci, nyalakan mesin, dan siaplah kita meluncur. Bahkan bagi pengguna mobil otomatis, tak perlu lah lagi dipusingkan dengan keselarasan antara gas dan kopling. Cukup lah mainkan gas dan rem saja. Parkir pun tak rumit, sebab sensor yang peka jadikan parkir kita sempurna.
Namun sadarkah kita berapa lama sejak mobil pertama kali ditemukan, hingga akhirnya mencapai titik kecanggihan serupa ini?
Menonton televisi pun tak kalah mudah. Berbekal remote dengan beragam fungsinya, para pelanggan TV kabel tak perlu pusing mengubah arah antena di atap rumah demi menikmati tayangan dengan leluasa.
Dan berapa dekade kah sejak TV pertama kali ditemukan, hingga mencapai titik kemudahan seperti ini?
Malu bertanya, sesat di jalan. Inilah nasihat yang dulu sering kita dengar. Banyak orang malu bertanya arah pada orang lain, maka mudah lah ia tersesat. Tapi kecanggihan smartphone telah jadikan peta lengkap dengan penunjuk arah tersedia tiap saat. Para pemalu pun tak perlu tersesat, sebab ia cukup bertanya pada Mbah Google yang terpasang pada perangkat di genggamannya.
Lalu berapa puluh tahun kah para ilmuwan memerlukan waktu sampai mendapati kemudahan seperti ini?
Ya, banyak hal sederhana, sering kita nikmati, tanpa pernah menyadari betapa ia telah melewati beragam kerumitan. Maka gaya hidup instan akibat kemudahan ini kemudian melemahkan jiwa, seolah segala-gala bisa tersedia seketika. Tidak, wahai diri, tidak. Kita menginginkan yang sederhana. Namun yang sederhana itu harganya adalah kerumitan. Dan pada ujung kerumitan yang dijalan denga kesungguhan, menunggu kesederhanaan.