Siang ini saya berbincang dengan seorang sahabat, Mas Kartiko Adi Pramono. Beberapa lama, diskusi pun mengerucut pada soal keinginannya menulis sebuah buku. Salah satu hambatan yang ia rasakan adalah adanya kekhawatiran kalau tulisan yang dibuat tak benar sepenuhnya, padahal mungkin isinya diikuti orang. “Sebab ilmu kan hanya apa kata Allah, dan apa kata rasul,” demikian jelasnya.
Saya sungguh sepakat dengan itu. Maka dalam sejarah kita mengenal alim ulama yang kedalam ilmunya bukan kepalang, namun berusaha keras menyembunyikan kitab yang disusunnya hingga akhir hayat, semata agar tak menjadi jalan keburukan, kesombongan. Kita pun berdecak kagum pada Imam Bukhari yang tiap kan menuliskan hadits dalam kitabnya, yang sejatinya telah beliau hafal di luar kepala, selalu menunaikan shalat 2 rakaat dahulu sebab khawatir menyebarkan keburukan.
Pada titik itulah, saya pun memutuskan pada satu saat, bahwa saya menulis untuk mencatat. Buku saya, adalah catatan pembelajaran. Lalu mengapa dipublikasikan?
Tulisan, layaknya catatan belajar, ia pasti mengandung ketidaklengkapan dan kekeliruan. Terpublikasikannya ia pada media digital maupun buku memungkinkan banyak orang yang lebih tahu celah-celah kesalahan tuk memberikan mudah masukan. Menuliskan pembelajaran menjadikan setitik ilmu yang saya pahami menjadi eksplisit, sehingga mudah dikenali kekeliruannya. Jika tak saya tulis, saya akan kesulitan mengenali lubang-lubang itu.
Adalah tradisi keilmuan, untuk membangun ilmu di atas ilmu. Tugas pembelajar sungguh bukan hanya tuk menelan apa yang ia dapat, namun mesti mencerna dan melengkapinya sesuai kemampuan. Sehebat apapun guru-guru kita, mereka diciptakan dengan kekurangan. Dan kenyataan bahwa kita menjadi muridnya, bisa jadi skenario Tuhan tuk melengkapi apa nan belum guru-guru kita temukan.
Maka saya bersyukur, sebab telah diberikan kemampuan tuk hilangkan rasa minder. Minder, kala melihat telah begitu banyak buku terbit di bidang yang saya geluti. Ya, rasa minder itu hilang, sebab memang ia tak layak ada. Saya sungguh sibuk tuk memahami tiap pelajaran, mencatatnya, mengamalkannya, dan mengisi celah-celah kosong semampu saya.
Dengan pemahaman yang demikian, jari-jari ini sungguh tak layak tuk berhenti. Sebab malu, para berilmu di zaman dulu menulis beratus-ratus kitab dengan tangan, di atas lembar-lembar dedaunan. Kala segala perangkat telah canggih, mestinya kita bisa meninggikan bangunan ilmu dengan lebih sungguh-sungguh. Yang kita butuhkan hanyalah gairah keilmuan. Bahwa ada samudera hikmah yang takkan habis digali sampai akhir zaman.
Tanpa menulis, kita bisa terlupa. Maka menulis sajalah dengan sungguh-sungguh. Lalu biarkan kekosongan yang tertera menjadi ruang pembelajaran selanjutnya. Baik bagi diri, maupun bagi orang lain tuk mengisinya.