“Menghitungi nikmat dalam diri, kusadari, sejatinya tak ada ruang tuk mengeluh.”
Hikmah ini kupetik entah dari mana. Kubagian sebab ia membantuku tuk belajar mensyukuri tiap hal.
Sudikah, wahai diri, jika sebelah matamu ditukar dengan uang 1 miliar?
Tidak? Maka sejatinya kau telah memiliki 1 miliar lebih.
Sudikah, wahai diri, jika salah satu jari kelingkingmu ditukar dengan uang berjumlah sama?
Tidak? Maka sejatinya kau telah memiliki 2 miliar lebih.
Sudikah, wahai diri, jika jantungmu diambil dan ditukar dengan uang 1 triliun?
Tidak? Maka sejatinya kau telah memiliki 1,2 triliun lebih.
Sudikah….
Ah, lanjutkanlah menghitungi tiap mili bagian tubuh yang Dia berikan untukmu, niscaya kau sadari bahwa dirimu adalah aset tak ternilai tingginya. Itu baru tubuh. Belum nikmat yang lain.
Namun rumah mewah, sungguh rongsokan semata kala tak dihuni, tak dihidupi. Begitupun diri dengan kesempurnaan ciptaan, ia mati saja kala tak dijadikan jalan penghambaan.
Ya, jalan penghambaan adalah jalan tertinggi. Jalan ketika hanya ada ketekunan melakukan apa nan diperintahkan, dan menjauhi apa nan dilarang. Melakukan yang diperintahkan, sebab Dia Maha Tahu, itu baik untuk diri ini. Menjauhi apa nan dilarang, sebab Dia Maha Tahu jua, itu buruk bagi diri ini.
Lalu bagaimana diri ini hendak mengeluh, kala seluruh nikmat tak ternilai harganya?
Belum lagi kala kita selami, bahwa pada apapun nan terjadi, selalu tersimpan kebaikan bagi diri. Pada kesenangan, ada kebaikan. Pada kesusahan, pun ada kebaikan. Dan pada keduanya, Dia hanya meminta 2 hal: sabar dan syukur.
Hitunglah, wahai diri, meski telah Dia firmankan kita tak sanggup menghitung nikmat yang dikaruniakan. Namun kadang hati perlu bukti, sebelum ia benar-benar tunduk dan menyesali keangkuhannya.
Alhamdulillah, dipertemukan dg web mas Teddi, saya melihat sosok mas Teddi sungguh sederhana namun “isinya” tak sesederhana itu, semoga ilmu yg tertulis menjadi kebaikan dan amal yg diterima aamiin
Amin.. terima kasih sudah berkunjung. Semoga apa yang dibaca jadi manfaat, dan kebaikan.