“Halangan terbesar untuk menjadi ahli adalah kesuksesan.”
Ini adalah paradoks yang baru belakangan saya pahami. Fitrah insan menginginkan kesuksesan, mendamba keberhasilan. Namun banyak diri yang belum sadar, bahwa pada setiap hal ada 2 sisi: kebaikan dan keburukan. Kebaikan kala ia tepat dosisnya. Keburukan kala ia kurang atau berlebihan. Ya, tak ada kebaikan pada segala yang berlebihan.
Kesuksesan, memang adalah hadiah atas kerja keras dan kesungguhan. Ia layak dinikmati, ada tahap yang kenikmatan itu menumbuhkan kesyukuran. Maka insan mesti waspada pada kenikmatan yang melewati batasnya. Yang cirinya adalah lebih mengutamakan keinginan untuk menambah kenikmatan itu, alih-alih mengendalikan diri dan mengatakan: cukup.
Di titik ini lah diri kerapkali dihadapkan pada sebuah persimpangan. Kesuksesan, bisa menghalangi kita dari menjadi ahli, menjadi terus bertumbuh, terus berjalan di jalan ilmu, sebab ia mengalihkan perhatian kita dari pertumbuhan. Kesuksesan jenis ini, adalah kesuksesan yang lahirkan kenikmatan semu. Kenikmatan yang menghentikan kesungguhan.
Maka simaklah kisah para ahli, orang-orang yang mencapai ketinggian ilmu dan kepenuhan amal. Niscaya kan mudah didapati bahwa senyum simpul sudah cukup untuk merayakan kesuksesan. Bagi mereka, kesuksesan cukup memberi tahu apa yang bisa bekerja. Tidak lebih. Maka mereka lebih terobsesi pada apa yang belum bekerja. Sebab di sana lah tersimpan ilmu nan belum terjamah.
Sebab menjadi ahli, bagi begawan ilmu, tiadalah pernah memiliki titik akhir. Ia adalah perjalanan tanpa henti. Kesuksesan hanyalah bak oasis tempat kafilah menimba air, lalu melanjutkan perjalanan. Terlalu lama menikmati air berarti terbuanglah waktu tuk lebih cepat sampai tujuan.
mantap!