Sejak saya memulai menulis tentang coaching, beberapa kawan mulai mengirim email berisi pertanyaan yang kurang lebih senada, “Bagaimana kita bisa menjadi seorang coach?”
Sekalian deh, saya buat sebuah artikel ya. Moga manfaat untuk semua.
Yang akan saya bahas adalah apa yang kita perlukan untuk menjadi seorang professional coach, alias coach yang memang menjalankan praktik secara profesional. Sebab ada pula rekan yang mungkin ingin belajar coaching namun tidak ingin praktik profesional, melainkan hanya untuk melengkapi keterampilan yang lain. Ada juga kawan yang tertarik belajar coaching untuk dipraktikkan dalam tugasnya di perusahaan.
Untuk menjadi professional coach di Indonesia sebenarnya belum ada aturan baku. Profesi coach sendiri, apapun bidangnya, belum diatur oleh regulasi apapun. Satu sisi, ini memberikan kita peluang untuk memasang standar yang sebaik mungkin. Sisi lain, kita perlu cermat memilih penyedia jasa layanan pelatihan coaching, sehingga bisa mendapatkan yang terbaik.
Pertama, tentu lengkapi diri dengan coaching skill. Caranya? Tak lain dengan mengikuti program-program pelatihan. Di Indonesia belum ada pendidikan formal untuk coaching. Namun di negara-negara seperti Australia dan Inggris, sudah ada universitas yang mengadakan jurusan coaching psychology. Untuk program pelatihan, saya sendiri merekomendasikan yang minimal berdurasi 60 jam tatap muka, seperti standar salah satu organisasi profesi coach terbesar di dunia saat ini, International Coach Federation (ICF). Saat ini sudah ada setidaknya 2-3 lembaga pelatihan di Indonesia yang berafiliasi dengan ICF, tinggal dipilih saja mana yang cocok. Aliran lain yang saya rekomendasikan adalah Meta Coaching dari Meta Coach Foundation (MCF), yang juga sudah ada penyedianya di Indonesia. Kedua organisasi ini memiliki standar program yang sangat baik, yang memungkinkan kita menjadi coach yang kompeten. Berbeda dengan ICF yang terdiri dari banyak aliran, MCF hanya 1 aliran saja, yakni Meta Coaching itu sendiri yang berbasis NLP dan Neuro Semantic. Yang menarik dari MCF adalah sistem benchmarking yang mereka terapkan, yakni proses asesmen kompetensi untuk bisa lulus. Jadi tidak semua peserta yang mengikuti pelatihan akan langsung disertifikasi. Berita baiknya, sesuai pengalaman saya, kita akan lulus seiring jam latihan yang terus dikumpulkan. Sebab sekian banyak kompetensi baru akan terangkai seiring praktik.
Kedua, kumpulkan jam praktik. Jika menggunakan standar ICF, maka Anda baru akan mendapat predikat Associate Certified Coach (ACC) jika telah menjalankan 100 jam praktik plus mentoring sebanyak 10 jam dengan mentor yang terakreditasi. Level di atasnya adalah Professional Certified Coach (PCC) dan Master Certified Coach (MCC). Tiap level memerlukan tambahan jam pelatihan, mentoring, dan praktik tersendiri. Silakan mampir ke www.coachfedaration.org untuk pelajari detilnya. Untuk MCF pun memiliki level yang mirip, hanya berbeda di jumlah jam praktik dan pelatihan yang harus diikuti. Silakan pelajari di www.metacoachfoundation.org.
Dua langkah tadi adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sebab kita memang tidak bisa hanya ikut pelatihan saja, namun harus mengumpulan jam praktik. Caranya? Ya cari klien. Berbayar maupun gratis. Sebab sebagaimana profesi lain, orang membeli reputasi. Tidak peduli sementereng apapun sertifikasi yang dimiliki, jika kita tidak punya reputasi keberhasilan yang memadai, tidak akan ada orang yang yakin. Silakan ucapkan kalimat di bawah ini, mana yang lebih meyakinkan:
Halo, saya Budi. Saya Associate Certified Coach lulusan dari ICF.
Atau…
Halo, saya Budi. Selamat datang. Anda adalah klien saya yang ke 139.
Yang kedua, bukan?
Ketiga, bergabunglah dengan jaringan coach. Sambil jalan, mulailah bangun kesadaran masyarakat—bersama para coach lain—tentang coaching. Masyarakat kita masih banyak yang belum paham manfaat coaching, dan bagaimana bisa mengakses para coach yang berkualitas. Bangunlah jaringan bersama para coach lain, lalu berpartisipasi lah dalam penulisan artikel, coaching gratis (pro bono coaching), konferensi, dll. Aktiflah di media sosial dan berbagi lah informasi terkait coaching. Mumpung belum ramai, jadilah pelopor. Kita membutuhkan lebih banyak coach daripada trainer. Mengapa? Karena trainer bisa menjangkau banyak orang sekaligus, tapi coach lebih banyak menjangkau perorangan. Padahal kebutuhan yang ada sangat besar. Tak ada coach yang bisa bekerja sendirian. Dunia coaching memerlukan praktik sinergi yang nyata.
Segitu dulu ya. Kalau kepikir lagi nanti saya tambahin.
Oh iya, sedikit informasi. Insya Allah bulan Mei 2014, komunitas Indonesia NLP Society akan mulai mengadakan NLP Coach Certification. Difasilitasi oleh AntZ Institute, kelas ini berlangsung selama 8 hari, tiap akhir pekan, selama rentang waktu total 5 minggu. Ini adalah sertifikasi lokal, tidak berafiliasi dengan organisasi luar negeri mana pun, namun berisi materi yang sangat komprehensif. Program ini juga menerapkan sistem asesmen kompetensi, sehingga peserta yang lulus sebagai NLP Coach memang betul-betul handal dalam menangani klien. Nantikan informasi lebih detilnya di situs www.indonesianlpsociety.org dan www.antzinstitute.com ya.