“Manusia pasti menjadi hamba dari sesuatu. Maka pilihlah sebaik-baik tuan, yang merupakan Tuan dari segala hamba.”
Manusia diciptakan dengan kebutuhan untuk bersandar. Pada pikirannya, pada perasaannya, pada jabatannya, pada keluarganya, pada nama baiknya, dan pada banyak lagi jenisnya. Maka memilih tempat bersandar menjadi hal yang krusial, sebab ia menentukan keleluasaan kita dalam bergerak, bertindak.
Ambillah contoh seseorang sedang berjalan di bebatuan. Jika ia hanya memiliki sandaran berupa kakinya sendiri, tanpa alas kaki, berapa cepat ia bisa berjalan? Mungkin teramat lambat. Sebab rasa sakit tentu sulit ditahan. Namun jika ia bersandar pada sandal atau sepatu yang tebal, seketika ia bisa leluasa berjalan bahkan berlari.
Dalam situasi lain, jika kita hanya mempunyai sandaran pengetahuan setingkat sekolah dasar, tanpa tambahan ilmu lain, pun yang dipelajari otodidak, mungkinkah kita bisa menyelesaikan pekerjaan seorang manajer? Sungguh hampir mustahi. Kita memerlukan sandaran yang lebih kokoh, pengetahuan dan keterampilan yang lebih banyak, baik dipelajari lewat formal ataupun non formal, agar dapat menjalankan tugas dengan baik.
Di titik ini, mari kita berhenti sejenak. Melihat sepanjang perjalanan hidup yang kemarin, dan yang akan datang. Yang kemarin telah lewat. Yang kan datang belum lah pasti. Apatah lagi yang kan datang itu yang melampaui kehidupan dunia. Sungguh panjang ia, dan sungguh diri ini memerlukan tempat bersandar yang teramat kokoh agar bisa bertahan dengan selamat.
Tengoklah, wahai diri, tengoklah. Betapa panjang perjalanan, betapa terjal kita mesti mendaki, betapa rumit rintangan di sana sini. Adakah sandaran yang kita miliki telah cukup agar kita bisa kokoh berdiri? Ataukah diri ini perlu merenung kembali, melampaui batas-batas diri, berlatih hanya bersandar pada yang sejati?
Ya, ada. Ada tempat bersandar yang sejati. Tempat bersandar yang benar. Yang padaNya lah segalanya pun turut bersandar. Tempat bersandar yang karena kemahaanNya, memungkinkan hamba ini begitu lentur, leluasa menembus batas-batas diri.
Jika bukan padaNya kau bersandar, wahai diri, lihatlah, takkan jauh kau bisa melangkah. Selalu saja ada batas. Selalu saja ada henti. Namun cermatilah mereka yang hanya bersandar kepadaNya. Cermati bagaimana mereka tumbuh, jauh melampaui apa yang mungkin terpikirkan oleh akal yang terbatas ini.
Mengapa bisa begini?
Sebab setiap sandaran, memerlukan sandaran lain. Hanya Dia, sandaran sejati, yang berdiri sendiri. Maka pastikan, wahai diri, tuk bersandar pada yang benar.