“Yang tak mau berlelah-lelah dalam belajar, kan bersusah payah dalam kebodohan.”
Seorang kawan mengeluh, “Seandainya dulu aku bersungguh-sungguh belajar mengemudi, kini aku takkan bergantung pada orang lain untuk bisa ke sana kemari.”
“Lalu apa yang membuatmu tak melakukannya dulu?” tanyaku.
Ia tersenyum kecut, “Aku tak merasa perlu. Dulu semuanya tersedia bagiku.”
Ya, semuanya mudah baginya dulu. Cukup bergantung saja. Dan itulah yang terjadi hingga kini, ia sulit lepas dari ketergantungannya. Belajar pasti memerlukan usaha. Namun ia memudahkan di akhir. Sementara bergantung saja memang tampak mudah, namun menyulitkan sepanjang hayat.
Kisah yang sebaliknya pun terjadi. Kuamati seorang kawan demikian pandai mengelola rumah tangga, padahal baru berdiri beberapa tahun lamanya. Ketika kutanyakan apa rahasianya, ia menjawab, “Kami memang baru menikah. Namun sendiri-sendiri, kami sudah belajar tentang pernikahan bertahun-tahun lamanya.”
Ya, belajar pasti memerlukan usaha. Usaha dalam mendapatkan guru. Usaha dalam memahami. Usaha dalam mengamalkan. Sebab ujung dari belajar adalah memperbaiki diri, maka usaha paling besar adalah bersungguh-sungguh menelaah dan mendesain ulang diri berdasarkan ilmu yang dipelajari.
Maka tak satu pun kan pernah kita temui seorang ahli yang pandai dengan sendirinya. Yang belajar tanpa usaha. Yang bersantai-santai belaka namun menguasai jua. Tidak ada. Dan rasanya memang takkan pernah ada. Bahkan mereka yang dikaruniai ilmu khusus pun, bermula dari kesungguhan dalam ilmu umum terlebih dahulu.
Jadilah belajar itu pasti melelahkan. Ia menghendaki kesungguhan, pengorbanan, penundaan akan berbagai keinginan. Lalu mengapa diri ini hendak melakukan semua itu? Ya sebab konsekuensinya. Mereka yang tak mau berlelah dalam pengorbanan, kan berkorban lebih banyak. Anak yang tak sungguh-sungguh dalam belajar membaca, misalnya, kan menderita sepanjang hayat dalam kebodohan, sebab sekian banyak ilmu ditransfer lewat tulisan. Orang yang tak benar-benar gemar bertanya kan tersesat jauh, karena sekian luas cakrawala ilmu dibuka lewat pertanyaan.
Ilmu itu dikejar, ujar sebuah nasihat. Ia menunggu, takkan hadir sendiri. Ia cahaya, maka perlu disibak penutupnya. Ia tak menyala dengan sendirinya, kecuali diri ini membakar sumbunya.
Inilah barangkali sebab, mempelajari 1 ilmu jauh lebih baik daripada beribadah semalam suntuk. Sebab 1 ilmu, memerlukan rentetan usaha sebelum dan sesudahnya. Memahami 1 ilmu kerapkali menghendaki perenungan berminggu-minggu. Dan ketika ia ditinjau lagi bertahun-tahun kemudian, kan lahir kembali hal-hal baru.
Belum lagi mengamalkan ilmu. Sepotong ilmu dari seorang guru, sejatinya ringkasan dari sekian panjang perjalanannya. Maka mengundah yang sepotong itu, menghendaki diri ini untuk menyelami dalam sekian panjang perjalanan pula, sebelum akhirnya ia kan bermakna. Setiap ilmu ada tempatnya.. Tempat sebuah ilmu pada hidup sang guru, sungguh berbeda dengan kita sebagai murid. Kita mesti menemukan tempat itu sendiri. Tempat itu hanya kan ditemukan lewat pengamalan.
Maka nikmatilah kelelahanmu, wahai diri. Sebab di dalamnya kan terbentang lautan makna. Kelelahan itu sungguh tak berarti, dibandingkan susah payah yang kan terjadi nanti.