Belajar Itu Pasti Perlu Biaya

“Tak ada belajar yang gratis. Semua perlu biaya. Namun sebanyak apapun biaya dikeluarkan, nilai sebuah ilmu tetap jauh melebihinya.”

Sesuatu yang kita dapatkan, pastilah perlu ditukar dengan sesuatu. Ini sudah hukum alam. Jika barang yang nilainya menyusut saja demikian, apatah lagi ilmu yang nilainya kan bertambah seiring waktu. Sebuah nasihat pernah hadir, “Jika dua orang bertemu dan saling bertukar uang 1000 rupiah, maka masing-masing akan pulang membawa 1000 rupiah. Namun jika dua orang bertemu dan saling bertukar 1 ide, maka masing-masing kan pulang membawa 2 ide.”

Benar, ilmu yang pernah kita pelajari bisa jadi terlupa. Namun ia takkan hilang. Meminjam teori dari Edward Thorndike, sesuatu yang pernah kita pelajari, kala dipicu lagi, akan terjadi spontaneous recovery. Kita tak perlu memulai dari awal lagi. Kita cukup perlu tekun memanggilnya kembali.

Tak ada belajar yang gratis.

Ya, ada yang sanggup belajar sebab memiliki dana. Dengan dana tersebut ia mampu membayar uang sekolah, mengikuti kursus, membeli buku, dan sebagainya. Sisi lain, ada yang tak memiliki dana, namun mendapatkan beasiswa. Sekilas, ia tampak tak perlu membayar dengan uang. Namun sejatinya ia membayar dengan bentuk lain. Penerima beasiswa pastilah mereka yang sungguh-sungguh berusaha melayakkan diri, hingga akhirnya terpilih. Penerima beasiswa, kerap justru telah membayar lebih banyak dengan kesungguhannya.

Beberapa perusahaan menyediakan dana cukup besar untuk membekali karyawannya dengan pengetahuan dan keterampilan. Sang karyawan cukup mendaftarkan diri dan mengikuti pelatihan yang disediakan. Gratis? Tampaknya. Tapi perusahaan tentu akan memilih mereka yang diperkirakan akan sungguh-sungguh dalam belajar, dan tekun mempraktikkan setelahnya. Darimana perusahaan tahu? Tentu dari rekam jejak pembelajaran sebelumnya. Lagi-lagi, para karyawan yang terpilih ini, sejatinya membayar jua, dengan kesungguhan mereka.

“Ilmu itu kan gratis dari Tuhan, mengapa dikomersilkan?” tanya seorang kawan yang menggerutu sebab belum mampu membayar biaya sebuah pelatihan.

“Benar. Ilmu itu gratis. Maka carilah sendiri. Tekunlah dalam meneliti. Temukan segala sumber yang gratis, lalu eksplorasi sendiri. Niscaya kan terkumpul jua semuanya,” jawabku.

Setelah diam beberapa saat, aku pun melanjutkan, “Namun jika tak punya waktu untuk itu, kau bisa meminta tolong orang lain untuk meringkasnya, mengumpulkannya, memudahkannya untukmu. Dan atas jasa itulah mereka perlu kau bayar. Ada memang sebagian dari mereka yang menggratiskan seluruh usaha tadi. Namun kau pasti akan tetap harus membayar, meski dalam bentuk lain. bentuk yang justru bisa jadi lebih besar. Pada guru yang tak mau dibayar, kau pasti berutang budi, yang bisa jadi mesti dibayar dengan balas budi sepanjang hayat.”

Ya, kerap kita dapati para guru yang tak hendak dibayar, memiliki murid yang mengabdi kepadanya bertahun-tahun. Maka sejatinya, sang murid pun membayar dengan pengabdiannya itu.

Namun sebanyak apapun biaya dikeluarkan, nilai sebuah ilmu tetap jauh melebihinya.

Nah, ini berita baiknya. Sebab ilmu adalah cahaya, ia menerangi jiwa. Dan harta apa kah yang lebih berharga dari terangnya jiwa? Jiwa yang terang melihat kehidupan dengan jernih. Mudahnya, banyak solusi hadir tersebab kejernihan ini. Apatah lagi ilmu tak pernah hilang. Makin digunakan, makin ia melekat, dan menjadi pintu bagi ilmu-ilmu lain. Jadilah para pembelajar kerap berujar di akhir hari, “Seberapa besar pun yang pernah kukeluarkan untuk belajar, sungguh tak seujung kuku pun sebanding dengan manfaat yang kudapatkan.”

Silakan hitung biaya kuliah yang pernah dikeluarkan, lalu bandingkan dengan penghasilan yang didapat bertahun-tahun kemudian. Ah, malu rasanya jika masih hendak menghitung.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *