“Lalu bangunlah batu bata ilmu satu demi satu. Pada waktunya nanti, kau kan takjub pada megahnya keahlianmu.”
Sejak taman kanak-kanak (bahkan kelompok bermain) hingga kuliah kita belajar menggunakan kurikulum yang telah disediakan. Begitu kagumnya kita pada para guru TK, yang ternyata untuk memandu kegiatan bermain saja menggunakan desain kurikulum demikian cermat. Maka pendidikan yang baik, sebagaimana kita lihat di berbagai negeri, mampu menghasilkan insan-insan pembangun dengan kompetensi yang tinggi. Di sebuah sekolah di Jepang, misalnya, sebuah aktivitas makan siang didesain dengan amat serius untuk mengajarkan sekian banyak kebiasaan baik yang bermanfaat bagi tiap siswa hingga dewasa. Dan Jepang, kita tahu, merupakan salah satu negeri yang berhasil membangun masyarakat yang tertib, disiplin, inovatif, berdampak bagi dunia.
Memang, kita tidak mesti hidup di negeri yang sedemikian itu. Negeri yang begitu sungguh-sungguh mendesain kurikulum dengan pandangan jauh ke depan. Negeri yang desain pendidikannya telah berhasil keluar dari jebakan fokus pada tes, hingga kita melihat banyak insan lulus tes, namun berkarakter buruk dan tak kompeten. Maka para pembelajar sejati, seyogyanya mendesain kurikulum hidupnya sendiri.
Ya, terlalu lama kita belajar dengan kurikulum yang didesainkan oleh orang lain. Ia bermanfaat, namun seringkali menjebak kita pada pemikiran bahwa pendidikan itu sampai ijazah di depan mata saja. Tengoklah orang-orang besar negeri ini. Insan mulia seperti Buya Hamka. Kita mengenal beliau bergelar profesor doktor, padahal tak satu pun sekolah formal ditamatkannya. Gelar itu dianugerahkan sebab kedalaman ilmu dan karyanya yang luar biasa, melebihi para sarjana. Apa rahasianya? Ia lah tekun belajar sepanjang hayat. Dikembangkannya kurikulum hidup tanpa batasan.
Wahai insan pembangun negeri, desainlah kurikulum hidupmu sendiri. Jika kau masih sekolah kini, jadikanlah sekolah hanya salah satu sumber belajar tuk mengisi kurikulum hidupmu. Pelajari orang-orang yang telah berkarya bagi kehidupan, carilah potongan-potongan yang menarik hati, pikiran, dan jiwamu. Tetapkanlah arah hidupmu. Lalu rumuskanlah apa-apa saja yang perlu kau pelajari sepanjang hayat.
Tembuskanlah pandanganmu keluar dari ruang-ruang kelas. Bertanyalah pada orang-orang siapa kiranya yang bisa kau jadikan guru. Sungguh Imam Syafi’i, yang di usianya yang 15 tahun telah mendapat izin berfatwa, masih gemar bertanya pada orang-orang yang datang dari negeri yang jauh, “Siapakah orang yang paham Al Qur’an dan hadits di negeri kalian?” Lalu seketika melakukan perjalanan ke sana.
Di era ini, kita mungkin tak perlu pergi berkeliling negeri-negeri, meski itu baik. Sebab ilmu bisa didapat semudah menjentikkan jari-jari. Namun ilmu serupa orang-orang. Jika tak dikenali, sulit untuk diajak bicara. Kenalilah ilmu yang kan mengisi kurikulum hidupmu. Bertambahlah tahu, paham, terampil dari tahun ke tahun. Carilah mereka yang lebih dulu mampu. Lalu bangunlah batu bata ilmu satu demi satu. Pada waktunya nanti, kau kan takjub pada megahnya keahlianmu.
Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi. Untuk itu, kita perlu alamat yang jelas, kesungguhan, dan rasa ingin tahun. Bersabarlah. Sebab tanpa sabar, semen yang belum kering pada bangunan kan rapuh berdiri. Bukan soal banyak, tapi soal berapa yang meresap menjadi pemahaman dan pengalaman.