Ilmu memang milikNya. Namun kita sulit mendapatkan langsung dariNya. Dia minta kita mencari, dengan kesungguhan hati, sebab memang ia tersebar pula di sepanjang jalan, tak hanya di tujuan.
Maka cara paling dasar belajar ilmu adalah melalui guru. Seorang yang telah paham dan mampu terlebih dahulu. Kita berutang pada guru. Sekali, dan selamanya. Karena takkan mungkin kita memahami yang kemudian, jika tak pernah melalui yang sebelumnya.
Guru kita, ialah manusia biasa. Ia dititipi amanah menyampaikan apa yang telah diketahui. Ilmu itulah yang sejati. Ilmu itulah yang cahaya. Adapun pembawanya sendiri, masih akan terus memerlukan cahaya tuk menerangi jiwanya, pikirannya, langkah kakinya. Ia dititipi ilmu bukan tersebab telah sempurna. Ia dititipi ilmu tuk membantu menyempurnakan dirinya, yang dalam perjalanan itu memerlukan pula proses berbagi dengan orang lain. Maka guru yang mengajarimu pun, sedang belajar melalui detik demi detik kala mengajarimu. Dalam tiap usaha yang ia luangkan mengajarimu, ia pun bertumbuh, menyembuh.
Lantaran ketaksempurnaan inilah, kadang murid tertabir.
Ada 2 kemungkinan. Kita belajar dari seseorang yang kita anggap sempurna, lalu menganggap tak perlu melalui jalan itu sendiri. Kita cukupkan diri hanya belajar padanya, mengambil hanya yang ia berikan. Kita mengira ilmu darinya paripurna, padahal barulah permulaan semata. Akhirnya? Berhenti belajar. Sementara, di balik sosok guru kita itu, pembelajaran terbentang panjang dan luas.
Kemungkinan kedua, kita belajar dari seseorang yang tak sempurna. Bahkan, ia memiliki kekurangan yang signifikan, mungkin kita ketahui belakangan. Akibat itu, kita merasa ilmu yang ia ajarkan tak ada gunanya. “Toh, ilmu itu tak mengubah dirinya. Tak membantunya jadi sempurna. Lalu untuk apa kita belajar lagi?” demikian pikir diri. Padahal, sekali lagi, seorang guru hanyalah manusia yang sedang dalam perjalanan pula. Ilmu menjadi bekalnya, meski kadang bekal tak mesti sesuai dengan kondisi. Kita memiliki bekal roti, yang tak terlalu berguna kala kehausan di padang pasir. Namun roti tetaplah roti. Ia bermanfaat pada waktu dan tempatnya. Begitu pula ilmu yang diembang sang guru. Ia tetap cahaya, berguna bagi yang memerlukannya. Bisa jadi itu kita. Tapi karena sang pembawa tak sempurna, kita pun berhenti, tak mencari lagi. Padahal di balik sosoknya, pembelajaran tersedia seluas samudera.
Waspadalah, wahai diri, pada dua keadaan di atas. Keduanya bisa menghambat perjalanan belajarmu. Ada ilmu yang bisa kau dulang, namun kau terhalang.
“Lalu apa yang harus kulakukan?” tanyamu.
Teruslah berjalan. Sadarilah bahwa guru hanyalah jalan bagi ilmu, bukan ilmu itu sendiri. Berterima kasih dan berdoalah selalu untuk kebaikannya, namun jangan pernah terhalang olehnya. Di sebalik kelebihannya ada yang jauh lebih luas. Di sebalik kekurangannya ada yang belum terjamah.
Bagus banget Ted!