“Ini zaman serba cepat. Yang tak cepat kan tertinggal.”
Demikian ungkap banyak orang masa kini. Dan aku pun sempat setuju. Maka dalam pikiranku, banyak hal mesti dipercepat. Atau setidaknya, berusaha dipercepat. Sebab yang lambat-lambat memang tak punya tempat.
Namun beberapa hari lalu, ada sebuah kalimat yang membuatku tertegun. Berasal dari seorang pakar manajemen kenamaan, Tom Peters. Penulis buku legendaris In Search of Excellence, sekaligus salah seorang yang berjasa mengajari para praktisi efektivitas organisasi dengan kerangka kerja 7S-nya. Dalam akun Twitter-nya, beliau menulis yang kurang lebih berbunyi, “Tidak. Tidak semua hal bisa cepat. Membangun hubungan perlu waktu. Mencari mitra bisnis perlu waktu.” Dan banyak lagi contoh lain.
Ya, membangun rumah tangga, misalnya, bukanlah sesuatu yang bisa diakselerasi terlalu cepat. Banyak orang memang menikah dengan bertemu beberapa kali, namun membangun cinta tak bisa dalam semalam. Keduanya mesti terus berusaha saling mengenal, saling mengisi, saling memaklumi, hingga akhirnya melahirkan keluarga yang harmonis.
Membangun tim dalam organisasi pun demikian. Masuk satu orang baru saja dalam tim, perlu beberapa bulan hingga akhirnya sebuah tim mencapai titik keseimbangan sinergi baru. Begitu pula kala seseorang keluar dari tim.
Dalam dua contoh di atas, dan beragam contoh lain, kita dapati sebuah benang merah. Ia lah belajar. Dalam tiap-tiap perubahan situasi, insan diminta tuk belajar, agar sesuai, agar selaras, agar tak mengganggu. Maka belajar memang adalah aktivitas yang wajib, sejak dari buaian hingga liang lahat. Ia yang berhenti belajar, akan tertinggal. Akan tak relevan. Dan belajar itu, memerlukan waktu.
Kini, akses informasi dan pengetahuan memang jauh lebih mudah didapat. Kita tak lagi mesti bertemu langsung dengan guru. Kita bahkan tak perlu antre pinjam buku. Dalam genggaman, satu kali klik kan mengantarkan pikiran pada ilmu-ilmu baru.
Namun ilmu hanyalah ilmu. Ilmu melimpah bukanlah jaminan ia tertanam dalam pikir dan menjadi rasa. Ia hanya tersedia, ibarat hidangan yang nikmat. Jika tak disantap, tak berubah jadi nutrisi yang bermanfaat bagi diri. Dan menyantap makanan itu, menghendaki insan tuk menggerakkan dirinya. Sebab makanan takkan datang sendiri, ia perlu diambil dengan tangan, dikunyah dalam mulut, ditelan, diproses oleh mekanisme alamiah tubuh, hingga sampai pada akhirnya. Semua proses ini perlu waktu. Mempersingkatnya—semisal mengunyah tak sampai lumat—bukan mempermudah, namun justru mempersulit kerja-kerja selanjutnya. Tak hanya itu, dalam jangka panjang ia justru berbahaya bagi tubuh.
Begitu pun ilmu. Ia perlu dipelajari dalam tiap tahapannya. Ia diketahui dengan bertanya. Ia dipahami dengan direnungkan dan didiskusikan. Ia dikuasai dengan dilatih dan diberi masukan. Ia diperbaiki dengan rutin mengambil pembelajaran dalam perjalanan. Ia disempurnakan dan jadi sebuah ciptaan dengan mengintegrasikan dengan berbagai ilmu lain. Dan kita tak pernah melihat kesemuanya ada pada diri seseorang melalui proses yang hanya hitungan malam. Ia perlu kesabaran, keteguhan, ketekunan. Ia naik dan ia turun. Ia berhasil di atas bangunan kegagalan. Ia mudah berkerangkakan kesulitan. Ia solusi, setelah melewati permasalahan.
Belajar itu, wahai diri, memerlukan waktu. Kita tak pernah diminta untuk cepat-cepat. Kita diminta tuk jadi manfaat. Apatah lagi dalam setiap hal yang cepat, sejatinya terkandung kerumitan proses yang melatarbelakanginya. Tengoklah smartphone yang kita genggam tiap saat, yang membuat hidup kita terasa lebih mudah, penciptaanya memerlukan waktu yang tak sebentar, dan kolaborasi ahli yang bekerja tak sekadar. Fokuslah jadikan diri manfaat, niscaya belajar jadi nikmat. Dalam tiap hari ada perbaikan, kita terus menanjak meninggi. Jikapun belum terasa di dunia ini, pastinya nyata di akhir nanti.