Ada hak pada ilmu, yakni tuk diamalkan. Dijadikan manfaat. Ilmu tersia-sia jika tersimpan dalam ingatan belaka. Lebih buruknya lagi, tak teringat pula, tersebab tak ia dipraktikkan, sedang praktik itu sendiri memperkokoh ingatan. Maka salah satu kewajiban pembelajar adalah memastikan tiap yang diketahui mewujud jadi hasil. Bergerak dari tahu, paham, mampu.
Sisi lain, ada risiko kala kita mempelajari sesuatu, namun berhenti sebelum sampai pada tahapan mampu. Kita tak mahir, lalu tetiba dihadapkan pada situasi yang menghendaki ilmu itu untuk diterapkan. Hasilnya? Tentu jauh dari sempurna, bahkan bisa jadi berbahaya. Maka belajar yang serba nanggung, yang tak utuh, yang tak tuntas, tak saja merugikan diri, ia bisa pula merugikan orang lain.
Masih lanjut soal risiko bagi orang lain, ada risiko lain yang terkait. Kadang orang yang dirugikan tadi tak paham bahwa yang menanganinya adalah seseorang yang tak mahir, alias bukan ahli yang sebenarnya. Ia hanya tahu ada orang yang menerapkan sebuah ilmu padanya. Dan ilmu itu tak bekerja. Lalu tersebarlah berita, ilmu itu tak berguna, bahkan berbahaya. Di titik ini, pembelajar yang nanggung tak saja merugikan orang yang ilmunya diterapkan padanya, ia pun merugikan orang lain yang sungguh membangun kemampuannya. Reputasi mereka terpengaruhi oleh kinerja si pembelajar nanggung tadi.
Belajarlah, nasihat sang nabi, dari buaian hingga liang lahat. Betapa benar nasihat ini, lantaran ilmu tak pernah habis, ujian tak pernah kering, tantangan tak kenal henti. Pada tiap kondisi dikehendaki ilmu baru tuk dipelajari. Tak tiap ilmu mesti disungguhi hingga jadi bagian dari diri ini.
Belajarlah, hingga mampu. Agar jadi manfaat, agar tak jadi mudharat. Agar tak membahayakan, melainkan mendatangkan ketenteraman.
Tuk sampai pada kemampuan itu tak rumit. Tak pula perlu kejeniusan. Ia hanya membutuhkan ketekunan tuk berlatih. Anders Ericson, peneliti kenamaan di bidang keterampilan dan kinerja itu, mengungkapkan bahwa untuk 1 keterampilan, jarak antara tahu dan mampu hanyalah 50 jam latihan semata. Jika dikerjakan 7 jam setiap hari, maka hanya kisaran seminggu saja. Jika seminggu terasa menekan, maka kurangilah hingga 3 jam, ia kan menunjukkan angka kisaran 16 hari, alias setengah bulan. Pun jika ingin santai menikmati, 1 jam saja sehari, maka 50 hari lah, tak sampai ia 2 bulan.
Layak?
Sungguh layak. Dua bulan untuk mendapati diri sampai pada kemampuan, tak sekedar pengetahuan. Dua bulan tuk sampai pada titik menghadirkan kemanfaatan, tak hanya slogan. Belum lagi hitungan kebaikan yang terkumpul ketika niat diluruskan. Maka tiap peluh, tiap susah, tiap sakit, tiap berat, melunturkan jejak keburukan, menabung berlipat-lipat investasi kebaikan, belum lagi meninggikan derajat.
Satu jam berlatih tiap hari, berarti satu jam terhindar dari kesia-siaan. Satu jam yang menjadi saksi bahwa diri ini adalah pejalan yang tak kenal lelah.