Tadinya, aku ingin menggunakan kata ‘lebih’ di judul, jadi “Kita Perlu Lebih Serius Memilih Pemimpin”. Tapi kuurungkan niat itu, sebab kata ‘lebih’ mengindikasikan adanya peningkatan, sedang yang dilebihkan itu sejatinya sudah. Ya, kita memang menurutku belum serius memilih pemimpin. Jadi kata ‘lebih’ sepertinya berlebihan.
Mengapa demikian?
Cek saja. Berapa banyak orang yang berpartisipasi dalam pemilihan umum benar-benar berusaha mengenal calon yang dipimpinnya? Tak banyak. Terlepas dari data yang memang amat terbatas, tapi usaha untuk mengenalnya sendiri belum cukup memadai. Karena tak berbasis pemahaman yang mendalam, tak berbasis data, maka emosi lah yang berperan. Kita melihat apa yang kita yakini ada, hingga membalik proses memilih, dari melihat data lalu mengambil keputusan, menjadi mengambil keputusan lalu mencari data.
Senang melihat memimpin turun ke lapangan, masuk gorong-gorong, atau marah-marah, misalnya, kerap dianggap bukti ia pemimpin ideal. Padahal tanya saja pada organisasi profesional seperti perusahaan-perusahaan besar yang keberhasilannya sustainable, adakah perilaku seperti itu menjadi kriteria kompetensi seorang eksekutif. Bukannya turun ke lapangan itu buruk, ia hanya bukan bukti yang memadai untuk memilih seorang pimpinan tinggi. Sisi lain, turun ke lapangan dan marah-marah pada orang lapangan justru mengindikasikan tak berfungsinya kepemimpinan di tengah, yang sejatinya tugas sang eksekutif untuk membenahinya.
Sementara itu, para pemimpin yang bicara visi, strategi, kerap dianggap oleh masyarakat hanya pandai bicara, tak pandai eksekusi. Bisa jadi memang demikian. Namun sebenarnya justru pemikiran masa depan itu lah yang di organisasi besar jadi kriteria apakah seseorang layak jadi eksekutif atau tidak. Tak sembarang visi layak dianggap serius, memang. Banyak di antara yang bicara visi sebenarnya hanya kata-kata kosong. Tapi justru itulah yang mesti diuji. Kita mesti paham visi mana yang layak kita seriusi sebagai bangsa. Dan karenanya perlu kita lihat sanggup dipikirkan oleh pemimpin negeri ini. Inilah kapasitas yang mestinya kita cari.
Ah, kok ribet banget ya? Kan kita cuma rakyat biasa. Pikir yang gampang saja lah. Yang kelihatan saja lah.
Justru itu yang diinginkan oleh mereka yang ingin meraup kekuasaan dari negeri ini. Mereka ingin kita berpikir terlalu lugu, lalu mudah ditipu. Kita ingin kita melihat apa yang ada di depan mata, lalu memutuskan saja, tanpa berpikir secara mendalam. Padahal proses memilih pemimpin menentukan nasib banyak orang. Tapi sungguh kita masih lebih serius memilih calon menantu yang menentukan nasib 1 keluarga, daripada memilih calon pemimpin yang menentukan nasib 1 bangsa.
Kata kuncinya ialah: berpikir kritis dan mendalam. Cari informasi melampaui apa yang disediakan media. Hei, realistis lah. Media kini telah menjadi industri. Bacalah berita-berita lembaga yang dulunya kredibel itu. Isinya kini tak lain hanya judul dengan citarasa clickbite semata. Kita tak lagi bisa mengandalkan mereka. Kita perlu membaca apa yang ada di balik kata-kata, di balik retorika.
Ini sungguh kemampuan yang kompleks, yang aku tahu tak mungkin kita capai sebagai sebuah bangsa dalam waktu singkat. Pendidikan kita memang ketinggalan terlalu jauh untuk membangun kapasitas berpikir seperti ini. Tapi tak pernah ada kata terlambat, jika kita memulainya sekarang.
Ada 3 aspek yang perlu kita benahi jika kita ingin mendapatkan pemimpin yang lebih baik.
Pertama, kemampuan berpikir mendalam ini jelas perlu dimulai dari perbaikan dalam dunia pendidikan. Pendidikan memang terbagi setidaknya 2 area. Pendidikan formal bernama sekolah. Dan pendidikan non formal yang dalam hal ini sejatinya berada di area rumah. Kita akan bahas pendidikan rumah ini secara khusus nanti.
Sudah ada langkah awal yang cukup baik sebenarnya, dengan dicanangkannya pendidikan karakter sebagai arah pendidikan kita ke depan. Hanya saja penggarapannya menurutku belum terlalu serius. Pendidikan karakter masih berkutat di kurikulum yang ujung-ujungnya hanya perubahan buku ajar. Padahal yang paling mendasar dari pembentukan cara berpikir kritis ialah kompetensi guru yang memfasilitasi proses berpikir ini. Masalahnya, proses pengembangan kompetensi guru pun, sertifikasi misalnya, pun masih berputar di pengetahuan, belum keterampilan. Guru diuji kompetensinya mengerjakan soal, padahal yang ingin dibangun ialah kemampuannya memfasilitasi proses di kelas.
Dengan jumlah guru yang demikian banyak, tentu tidak realistis untuk menyapu bersih program pengembangan kompetensi dengan cara meminta guru kuliah lagi. Maka solusinya adalah dengan membentuk kelompok belajar berkelanjutan, yang memungkinkan guru belajar secara bertahap dan terus-menerus meningkatkan kemampuannya memfasilitasi proses berpikir. Bukankah ini pula yang kita harapkan terjadi pada masyarakat kita nanti? Masyarakat yang belajar terus-menerus melampaui jenjang sekolah yang telah ia lalui?
Kedua, pendidikan rumah. Yang ini mungkin agak lebih kompleks, sebab tak mungkin kita menyekolahkan seluruh orang tua untuk belajar bagaimana membangun berpikir kritis. Padahal dialog-dialog di rumah lah yang justru kerap amat membekas membentuk kebiasaan berpikir seseorang. Lalu bagaimana kita hendak membangun keterampilan keluarga ini? Mungkin solusinya ialah dengan mengembangkan organisasi tempat para orang tua bisa atau biasa berada.
Sebagian orang tua yang bekerja di organisasi profesional seperti perusahaan biasanya mengikuti program-program yang tanpa disadari membentuk pola pikirnya. Namun organisasi non formal seperti ormas dan komunitas, sebenarnya adalah jalan yang bagus pula untuk mengembangkan keterampilan berpikir dan memfasilitasi pendidikan rumah. Di era ini, komunitas berkembang demikian banyak, mulai dari komunitas hobi, bisnis, hingga parenting. Proses dalam komunitas perlu dikembangkan sehingga tidak saja menyediakan pengalaman yang sesuai minat, tapi juga pengalaman berpikir.
Pendidikan sekolah dan rumah adalah kunci untuk membentuk pola pikir masyarakat sehingga kompeten sebagai pemilih. Sisi lain, pemilih pun akan sulit memilih jika yang dipilih tak cukup banyak yang berkualitas. Maka ada aspek penting ketiga yaitu mengembangkan kualitas para calon pemimpin sesuai dengan jenjangnya.
Ini seharusnya ialah tanggung jawab partai politik. Mereka lah yang selayaknya memiliki core business memproduksi pemimpin. Maka proses perekruitan, pengembangan, dan pencalonan mesti menjadi standar yang dievaluasi terus-menerus oleh lembaga yang berwenang memberikan izin operasi partai politik. Partai yang tak sanggup memproduksi pemimpin kompeten layak pilih harusnya dievaluasi dan jika perlu ditutup. Partai harus memiliki program political leadership development yang teramat canggih untuk memastikan tersedianya pemimpin berkualitas yang akan melayani rakyat. Maka partai yang hanya memproduksi pemimpin pencari kekuasaan dan materi sudah selayaknya dihentikan operasinya. Partai yang hanya menjadi manajemen artis rasa-rasanya tak perlu diberi tempat lagi. Sebab yang populer belum tentu kompeten, sedang yang kompeten belum tentu populer. Tugas partailah mengkampanyekan yang kompeten sehingga dikenal dan dipilih.
Sudahlah, kualitas kepemimpinan itu diawali dari kapasitas berpikirnya. Jika kapasitas berpikir belum memadai, maka aksi-aksinya pun akan terlalu ala kadarnya. Jadi jika partai politik tak menyediakan program pengembangan yang dimulai dari kapasitas berpikir ini, sehingga politisi yang kita lihat di televisi hanya yang pandai memotong omongan orang secara kasar, ngeyelan, bicara tanpa data atau argumentasi, jelas mereka tak menjalankan tugasnya dengan baik.
Kita perlu berlatih untuk mengenali kompetensi. Kita perlu belajar menandai apa yang esensi. Kita akan sampai, insya Allah, pada titik ini. Titik ketika menjadi politisi ialah pekerjaan yang penuh pengorbanan. Pekerjaan yang hanya layak bagi orang-orang yang sudah selesai dengan kebutuhan dasarnya. Pekerjaan yang dikhususkan pada people of good character and competence.