Berharaplah yang Realistis pada Politisi

Aneh. Sungguh aneh. Sudah berkali-kali kukatakan. Itu di perusahaan besar seperti Astra, seseorang yang akan diangkat menjadi supervisor mesti membuktikan dirinya dalam rekam jejak kinerja dan kompetensi demikian solid, sebelum layak dipromosikan. Pun sudah dipromosi, mesti mengikuti program pengembangan berhari-hari, dengan pre and post assessment, improvement project yang dipantau.

Makin naik levelnya, makin ketat seleksinya, makin solid programnya, makin detil assessmentnya. Begitu level GM, konon salah satu program pengembangannya ialah mentoring rutin—bukan sesekali—bersama direksi di level holding company. Tidak pernah kita lihat ada direksi, di level holding, naik tiba-tiba dari seorang manajer. Bukan karena ada kasta di organisasi, melainkan karena realistis saja. Orang perlu waktu untuk tumbuh dan berkembang menjadi pemimpin. Sebab pekerjaan memimpin organisasi, di level apapun, bukan hal main-main. Hajat hidup orang banyak dipertaruhkan.

Logika simpel saja.

Lalu logika dijungkirbalikkan dengan retorika ala kaum sofis. Di dunia politik, kita bisa melihat orang menjadi pemimpin kota—yang jelas jauh lebih kompleks dari sebuah perusahana holding sekalipun—datang dari latar belakang yang entah apa. Tanpa program pengembangan, ia naik jadi gubernur, dan lebih tinggi lagi, dalam kurun waktu yang amat singkat. Kurun waktu yang mustahil terjadi bahkan di perusahaan. Lalu tampak di mata kita seolah ia berhasil, keren, berkilau. Dalam pikirku, ini orang kalau bukan nabi ya minimal wali. Sebab tak ada orang jenius seperti itu di kalangan manusia awam. Pun insan yang amat jenius, yang baru meninggalkan kita semua, ditempa puluhan tahun baru sanggup memimpin negara.

Baiklah. Mari berpikir jernih. Yang kita lihat itu, yang kita baca itu, yang kita tonton itu, tak nyata. Ia hanyalah retorika tanpa data. Jadi, reaslitis saja. Ada yang punya banyak kepentingan, dan semuanya sedang berjualan retorika.

Di sini, mari kita berpikir jernih, dan melihat politisi selayaknya manusia biasa. Jabatan walikota, gubernur, presiden itu, maksimal 2 periode. Artinya, seseorang paling banter pernah menjabat 5 tahun di level yang sama sebelumnya. Artinya lagi, seseorang yang baru terpilih, jelas minim pengalaman. Jadi kita realistis saja. Manajer baru saja tak mungkin langsung melesat kinerja di periode pertama menjabatnya. Ada yang jenius serupa itu, tapi pun jika ada ya jumlahnya tak banyak. Artinya, jauh lebih banyak manusia rata-rata yang mesti kita lihat biasa adanya.

Ia baru menjabat, ada yang bagus, ada yang kurang. Yang bagus kita apresiasi, yang kurang kita beri masukan. Yang bagus, mesti disadari, bahwa ia tak lepas dari konteks. Ada rantai kepemimpinan sebelumnya yang sudah lebih dulu membangun fondasi. Tak layak kita menyepelekan kerja pembangun fondasi, lalu sibuk memuji-muji rumah yang sudah jadi. Hei, tanpa fondasi rumah itu tak bisa berdiri!

Jadi, biasa saja lah. Yang bagus, pasti ada kurangnya. Yang kurang, pasti ada bagusnya. Maka realistis saja.

Mengubah budaya organiasasi kecil saja, membutuhkan setidaknya waktu 4-5 tahun. Jadi mustahil kita berharap perubahan signifikan pada 1-2 tahun. Jika pun ada, kita mesti curiga, adakah ia lagi-lagi hanya retorika belaka.

Ada kota-kota yang dipuji-puji pembangunannya. Aku kerap hanya tersenyum-senyum saja. Sebab tak lama setelah pemimpinnya naik pangkat, segala bangunan itu lemah tak berdaya. Wajar, sebab membuat bangunan memang mudah. Membangun budaya yang memanfaatkan bangunan itulah tantangan yang sebenarnya.

Jadi ketika ada pabrik mobil diluncurkan, ya sudah kuduga. Jelas itu bukan mimpi dengan visi panjang. Itu baru sebuah retorika untuk pemasaran saja. Realistis saja. Maklum saja. Perlu waktu untuk membangun impian. Dan ia dibangun dari fondasi. Jika tiba-tiba jadi, ah, doakan saja ia kan berevolusi.

Menggunakan pola pikir begini, hematku, lebih santai membaca berita. Susah juga memang, masak berita tak kita baca. Meski ia kini hanyalah media pemasaran, ia tersedia. Aneh juga kita kalau tak mau membacanya. Namun bacalah dengan jernih, dengan maklum saja. Miliki kerangka ilmu untuk menganalisa dan tak terjebak dalam kemasan luar saja.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *