Kecemasan adalah reaksi yang wajar kala krisis melanda. Sebagaimana emosi jenis lain, ia hadir sebagai mekanisme pertahanan diri kita dalam kondisi ketidakpastian. Maka selayaknya penanda, kita tak harus fokus pada alarm, melainkan bertanya lebih lanjut, “Apa penyebab menyalanya alarm itu?”
“Loh, bukankah penyebabnya sudah jelas? Yakni kondisi krisis itu sendiri?” demikian mungkin pertanyaan Anda.
Rupa-rupanya, bukan. Stimulus berupa kejadian bukanlah penyebab lahirnya respons emosi. Buktinya, tak semua orang yang mengalami kejadian yang sama, melahirkan respons yang sama. Dua orang yang berhadapan dengan seekor singa, misalnya, apakah akan memunculkan perasaan yang sama? Belum tentu, bukan? Jika satu orang ternyata adalah pawang singa, jelas responnya jauh lebih tenang—meskipun waspada—dibandingkan yang tak memiliki kemampuan menaklukkan singa.
Lalu apa sebenarnya yang memunculkan emosi?
Adalah Dr. Stephen R. Covey yang menjelaskan mekanisme ini dengan gamblang dalam karya beliau, The 7 Habits of Highly Effective People. Dalam Kebiasaan 1, Be Proactive, beliau menjelaskan bahwa umumnya kita berada dalam kondisi Reaktif, yakni kondisi ketika Respons kita dipengaruhi langsung oleh Stimulus yang kita terima. Padahal, sebenarnya, selalu ada ruang antara Stimulus dan Respons. Di ruang inilah kebebasan berpikir dan bertindak kita berada. Sayangnya, ruang ini tak kerap dilatih dan digunakan. Sehingga ruang yang sejatinya bisa luas, menjadi seolah sempit. Sempitnya ruang inilah yang menjadikan seolah-oleh Stimulus itulah penyebab langsung dari Respons kita. Krisis sebagai stimulus, dianggap sebagai penyebab langsung dari Respons cemas.
Sementara itu, di ruang antara Stimulus dan Respons, sejatinya tersimpan 4 Anugerah Unik Manusia. Anugerah yang secara khas diberikan Tuhan pada manusia, sehingga memungkinkan manusia untuk memiliki variasi Respons atas Stimulus yang sama. Ada orang yang langsung marah saat dihina, ada yang tersenyum saja kala mendapat hinaan yang sama.
Empat anugerah itu adalah: Kesadaran Diri, Imajinasi, Hati Nurani, dan Kehendak Bebas. Mari kita bahas satu per satu, bagaimana keempat anugerah ini dapat membantu kita mengendalikan kecemasan.
Kesadaran diri adalah kemampuan manusia untuk mengambil jarak dengan dirinya. Untuk mengenali apa yang terjadi pada pikiran, perasaan, dan tindakannya. Untuk menelaah mengapa ia berpikir demikian, mengapa pula ia merasakan hal ini, mengapa jua ia mengambil tindakan itu. Dengan kemampuan ini, manusia bisa menentukan pikiran, perasaan, dan tindakan apa yang lebih baik. Saat kita cemas, ambil lah jarak sejenak dengan pikiran dan perasaan kita. Apa tepatnya pikiran yang kita biarkan muncul dalam benak kita? Adakah pikiran itu bermanfaat? Kecemasan berlebihan muncul ketika kita tak menggunakan kesadaran diri ini, dan membiarkan pikiran dan perasaan kita dikendalikan oleh stimulus dari luar.
Imajinasi adalah kemampuan kita untuk mengolah pikiran untuk membayangkan hal yang belum terjadi. Saat kita reaktif, imajinasi ini kerap muncul, hanya dikendalikan oleh situasi. Informasi korban yang meninggal akibat COVID-19 dibayang-bayangkan terus, melupakan kenyataan bahwa yang sembuh pun jauh lebih banyak. Data penjualan yang terus menurun dipikir-pikirkan terus, melupakan tugas kita untuk menjaga hubungan dengan pelanggan agar tak lari kala kondisi membaik. Ini akibat imajinasi tak kita kendalikan. Menggunakan anugerah imajinasi artinya kita memilih untuk mengimajinasikan hal yang positif, produktif, memberdayakan. Kita bayangkan kemungkinan terbaik, meskipun tetap waspada. Jika kenyataannya penjualan sedang menurun dan diperkirakan sampai Desember, maka imajinasikan apa yang harus kita lakukan agar di Januari segera dapat rebound.
Menggunakan Hati Nurani, berarti bertanya dalam diri, ke dalam hati sanubari terdalam kita, apa hal terbaik yang bisa kita lakukan saat ini? Ini berarti mendengarkan suara hati kita untuk memilih pikiran dan tindakan yang paling tepat, berdasarkan masukan dari anugerah kesadaran diri dan imajinasi. Kadang, suara hati ini tertutup oleh suara lain pikiran kita yang tak memberdayakan. Maka kita perlu meluangkan waktu untuk sejenak hening, dan bertanya secara mendalam. Suara hati bukanlah hal baru yang kita miliki kala dewasa. Saat kita anak-anak, dan pertama kali melakukan perbuatan buruk, suara hati sudah membimbing kita dengan menimbulkan rasa bersalah akan tindakan itu, dan kita—meski takut—mengakui kesalahan itu. Namun suara hati memang kerap kalah dengan suara pikiran buruk. Maka, dengarkan suara hati Anda saat cemas melanda. Dia kan membimbing kita dan menunjukkan jalannya.
Terakhir, Kehendak Bebas. Kehendak Bebas ialah kemampuan kita untuk bertindak dengan ‘memaksa’ diri. Obat itu pahit. Tapi karena ia diperlukan untuk kesembuhan, kepahitan itu kita tahan dan kita minum jua. Inilah kehendak bebas. Kemampuan untuk memilih respons yang benar, meski tak sejalan dengan emosi alamiah kita. Kehendak bebas lah yang membuat para pahlawan pekerja medis tetap menunaikan tugasnya, meski rasa cemas pasti tetap ada dalam diri mereka. Meski 20 prospek yang harus saya kontak hari ini mungkin tak menjawab, kehendak bebas memungkinkan saya terus berusaha dengan cara yang baik, karena itu merupakan tanggung jawab saya. Kehendak bebas adalah bahan bakar kita untuk melakukan tindakan yang berada dalam kendali kita, alih-alih sibuk memikirkan yang tak bisa kita kendalikan.
Gunakan 4 Anugerah Unik Manusia ini. Ia telah tersedia di dalam. Ia menunggu untuk digunakan. Atasi rasa cemas. Jangan ditekan. Arahkan pikiran pada yang memberdayakan.