Tirani Itu Bernama Hasil

“Tirani itu bernama hasil. Ia tak memenjara tubuh kita, tapi memerangkap pikiran kita.”

Salah satu kegamangan manusia era digital adalah kala sesuatu yang dilakukan tak segera membuahkan hasil. Sekali posting, berharap viral. Sekali menawarkan, berharap laris manis. Sekali perintah, berharap langsung diikuti. Sekali lari pagi, berharap langsung langsing. 

“Buat apa kita melakukan sesuatu yang tak ada hasilnya?” Demikian ungkapan yang kerap muncul. Sebuah ungkapan yang menggelisahkanku. Seperti ada yang salah. Meskipun karena aku adalah anak zamanku, artinya aku pun bagian dari mereka yang mengungkapkan itu, rasa-rasanya ini perlu ditelusuri. 

Pertama, “Buat apa kita melakukan sesuatu yang tak ada hasilnya?” adalah ungkapan yang mengandaikan hakikat tertentu dari sesuatu yang bernama hasil. Maka pertanyaannya kemudian adalah: apa sebenarnya yang disebut dengan hasil itu? Jika menelisik maksud yang biasa diucapkan orang, sepertinya yang dimaksud hasil adalah sesuatu yang tampak, terlihat, terasa, tangible. Dengan kata lain, materi. Hasil adalah materi. Jika tak berbentuk materi, atau tak bisa dimaterikan, maka bukan hasil. Maka kita kerap mendengar di seputaran bahasan tentang pendidikan, misalnya, “Buat apa belajar hal yang tidak kelihatan manfaatnya?” 

Ah, kan, manfaat itu harus kelihatan, katanya. Jika tak kelihatan, maka bukan manfaat. Baru disebut manfaat, jika bisa diindera. Yang tak bisa diindera, tak bermanfaat. 

Tapi, benarkah demikian? Benarkah yang tak bisa diindera bukanlah hasil, dan karenanya tak bermanfaat? 

Sejarah ilmu pengetahuan sebenarnya sudah membuktikan penyataan ini tak valid. Sungguh banyak hal yang di luar kemampuan penangkapan indera, terbukti manfaatnya. Bahkan, membatasi hasil dan manfaat hanya pada aspek inderawi sebenarnya amat membatasi. Mari kita ambil contoh kejujuran. Kita tahu kejujuran itu berharga. Tak mungkin kita sangkal. Namun kejujuran itu sendiri sungguh sulit untuk diindera. Bahkan ia baru bisa diindera ketika ia tak ada, misalnya ketika orang berbuat tidak jujur. Pejabat yang jujur sulit dikenali, lebih mudah dikenali kala ia tak jujur dan dipenjara. Jadi keberadaan sesuatu itu kerap malah sulit diindera, ketiadaannya lah yang lebih mudah diindera. 

Kedua, “Buat apa kita melakukan sesuatu yang tak ada hasilnya?” adalah ungkapan yang menyiratkan bahwa hasil yang tampak itu harus tampak segera, atau dalam waktu singkat. Padahal, apa itu segera? Singkat atau cepat itu seberapa? Bukankah segera, cepat, singkat, selalu mengandaikan adanya pembandingan. Cepat dibandingkan dengan apa? Dan bukankah cepat itu sendiri masih belum memiliki makna kecuali ditempatkan dalam konteks tertentu? Misalnya, bayi yang lahir lebih cepat dari 9 bulan 10 hari, apakah baik atau buruk? Makanan yang baru ditelan dan langsung keluar lagi—alias diare—apakah baik atau buruk? Jadi saat orang mengandaikan hasil yang segera, yang cepat, apa sebenarnya pembandingnya? Apa pula konteksnya? Dan apakah kemudian ia menjadi bermakna baik atau buruk? Sebab tak sedikit masyarakat menyoraki seorang anak muda yang dalam waktu singkat membesarkan bisnisnya—apapun pembanding singkat itu—lalu kita membaca biografi yang rupanya mengisahkan ketakbahagiaan dalam hidupnya. 

Ketiga, “Buat apa kita melakukan sesuatu yang tak ada hasilnya?”, pada akhirnya, sebenarnya mengandaikan adanya sebuah ketetapan semata, kesepakatan, yang mungkin (atau kerap) tak disadari. Apa sejatinya referensi hasil yang kita gunakan? Apa tolok ukur yang kita pilih? Untuk menjadi seorang dokter yang mapan di Indonesia, misalnya, jelas membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun, dengan asumsi ia perlu menempuh pendidikan hingga spesialis. Sebuah angka yang kala diterapkan pada karir di startup sudah dianggap dinosaurus. Tapi apa iya memang kedua jenis karir itu bisa diperbandingkan? Toh, keduanya tak bisa dipertukarkan. Keberhasilan seorang data analyst tak bisa dipindahkan ke dunia kedokteran. Begitu pula sebaliknya. Seseorang yang memilih untuk menjadi seorang guru TK, karena menyenanginya, rasa-rasanya sulit untuk memiliki penghasilan sebesar direktur perusahaan. Namun, direktur perusahaan mana yang tak pernah diajari oleh guru TK di zaman sekarang? Mana yang kita sebut hasil: ekspansi bisnis sang direktur yang tampak dinamis dan progresif, atau kelas sang guru TK yang selalu sama dan konsisten meluluskan calon-calon direktur yang mungkin tak akan mengingat namanya? Ah, tak bisa dibandingkan, bukan? Kalaupun mau kita paksa perbandingkan, kita pasti harus memilih referensi. Dan hanya dalam konteks referensi itu saja perbandingan itu bisa dipahami. Sekali lagi, hasil yang tampak, selalu membatasi hakikat yang sebenarnya dari sesuatu. 

Maka membatasi diri dengan definisi hasil sebagai apa yang tampak sebenarnya adalah indikasi kita yang berada dalam tirani. Tirani itu tak disadari. Ia tak memenjara tubuh kita, tapi memerangkap pikiran kita. 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *