Penguasaan dan Kemelekatan

“Tabiat manusia adalah ingin menguasai.”

Tabiat manusia adalah ingin menguasai. Salah satu indikasinya adalah saat manusia memberi nama. Sebelum sesuatu diberi nama oleh manusia, ia ada di sana begitu saja. Ia terlepas dan berjarak. Lalu manusia memberinya nama: bunga, meja, kursi, bintang, angin, dll. Bahkan hal-hal yang sejatinya tak berentitas tetap pun seolah menjadi fix dengan diberi nama (misal: serangkaian perilaku seseorang diberi label dengan ‘galak’ atau ‘ramah’). 

Tabiat manusia untuk memberi nama banyak hal. Seolah ingin menggenggam semua itu dalam pikirannya, dalam lisannya. “Aku tak bisa menggenggam ia yang bersinar di sana menggunakan tanganku, tapi aku bisa menggenggamnya dengan memberinnya nama matahari.”  

Keinginan untuk menguasai inilah yang kerapkali menghadirkan kemelekatan. Saat manusia memberi nama seseorang dengan ‘sahabatku’, maka seolah ia jadi milikku, ia ku kuasai. Padahal ia tetap merdeka. Ia tak pernah benar-benar menjadi milikku. Ia hanyalah seseorang yang idenya ku simpan dalam benakku. Ia bisa saja bertingkah di luar lingkup batasan kata ‘sahabat’ dan akhirnya membuatku membencinya. Tapi di kemudian hari, kebencian itu pun bisa hilang kala lebih banyak perilaku dalam lingkup sahabat yang ia lakukan kembali. Jadi sebenarnya memang ia datang dan pergi, tak pernah benar-benar ku miliki, kecuali bahwa ia ku ‘kuasai’ dengan nama ‘sahabatku’ yang ku sematkan padanya. 

Kita memang diberi sedikit kemampuan menguasai. Itu kenyataan. Karenanya kita bisa dimintai pertanggungjawaban. Pada saat yang sama, penguasaan itu selalu memiliki batas. Dan batas itu tak begitu luas. Ada terlalu banyak hal yang tak kita kuasai. Atau lebih tepatnya, tak bisa kita kuasai. Kita bahkan tak bisa memberinya nama. 

Kita menguasai untuk memanfaatkan, atau menjadi manfaat. Tapi sadarilah kemampuan menguasai itu hanyalah jalan. Alat. Kita menguasai dan dikuasai. Meski itu kenyataannya, ia tak buruk. Pertanyaan pentingnya adalah untuk apa. Untuk apa kita menguasai, dan untuk apa kita dikuasai. Apa yang ingin kita kuasai, dan apa yang menguasai kita. 

Pada tiap yang kita kuasai, sadari pula ia adalah ilusi. Ilusi kekuasaan yang sementara. Bisa datang dan pergi kapan saja. Manfaatkan selagi baik dan bisa. Kala ia hilang, memang tak pernah benar-benar milik kita. 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *